Advertistment

 


(Oleh: Nanda Feriana)
Dari waktu ke waktu publik selalu dikejutkan oleh berita seputar ‘kejahatan kelamin’ yang masih saja menjadikan anak sebagai korban. Anak-anak masih terus menjadi target empuk dari pelampiasan syahwat dan kebrutalan perilaku seksual orang dewasa.
Masih segar dalam ingatan beberapa waktu lalu kejadian pemerkosaan yang menimpa Diana di Peulanggahan, Banda Aceh. Diana, gadis kecil berumur enam tahun itu diperkosa lalu dibunuh oleh seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah pamannya sendiri.
Begitu juga dengan tindakan serupa yang terjadi di Bireuen sekitar pertengahan Maret lalu dan menimpa seorang gadis belia yang masih di bawah umur. Sang korban malah diperkosa secara bergilir oleh empat orang laki-laki (regional.kompas.com26/03). Walau tak berujung pada pembunuhan, akibat kejadian itu korban cukup mengalami “pembunuhan mental” sampai menyebabkan ia tak berani kembali ke rumah karena malu dan ketakutan.
Baru-baru ini pun pemerkosaan terhadap anak terjadi lagi di Aceh Besar. Seorang bocah perempuan berusia sembilan tahun yang masih duduk di sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MIN) Aceh Besar, diperkosa seorang kakek berusia 60 tahun yang merupakan guru bantu di tempat si bocah tersebut bersekolah.(http://bungong.com10/4/13).
Sungguh sangat ironis. Kasus-kasus tersebut mungkin hanya potret kecil dari kejahatan-kejahatan seksual yang selama ini secara pelan-pelan terus terjadi. Penjahat-penjahat kelamin terus mengincar dan memenggal masa depan satu persatu anak-anak Aceh.
Anak yang seharusnya masih tertawa dan ceria menikmati masa kecilnya, harus berhadapan dengan ketakutan, menanggung aib di usia yang masih sangat belia. Anak yang masih “suci” yang seharusnya dipersiapkan untuk mereproduksikan generasi unggul di masa depan, malah ‘dirobek-robek’ harapan hidupnya nya di masa kini. Mereka ditindih, ditindas, dan disumpal kebahagiaanya dengan perilaku syahwat yang membabi-buta.
Begitulah keadaan beberapa anak-anak di sekitar kita saat ini. Mereka terpasung dalam ketidakberdayaan akibat tindakan pemerkosaan yang menimpanya, dan seolah mereka kini sedang berteriak meminta pertolongan.
Fenomena Kejahatan Seksual dan Penyebabnya
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang 2012 menerima sebanyak 2.637 laporan kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur, dimana 62 persen di dalamnya atau 1.700 laporan adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, dan inses (pelaku berasal dari keluarga). Pelaku yang merupakan orang terdekat korban diketahui mecapai 65%dari jumlah tersebut(megapolitan.kompas.com 25/2).
Salah satu lembaga gerakan perempuan Aceh, Balai Syura Ureung Inong Aceh, mencatat pada tahun 2011-2012 terjadi 66 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berusia 2-18 tahun, terakhir adalah kasus yang dialami oleh Diana (tempo.com30/3).
Inilah wajah realitas dimana kasus ‘kejahatan kelamin’ kian mengkhawatirkan. Anak-anak yang seyogyanya sebagai generasi penerus, kini masih saja disandera kebebasan hidupnya oleh kejahatan demi kejahatan. Lantas generasi seperti apa yang akan tersisa untuk bangsa ini di kemudian hari?  Ini tentunya menjadi pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama dengan penuh rasa tanggung jawab.
Seorang psikolog dan pakar parenting dari lembaga Kita dan Buah Hati (KBHF), Elly Risman M PSi , mencoba menganalisis realitas seputar fenomena kejahatan seksual anak yang kini sedang marak-maraknya terjadi. Menurutnya setidaknya ada empat penyebab yang melatarbelakangi hal tersebut. Dua penyebab diantaranya adalah (i) dikarenakan tidak siapnya individu-individu menjadi orang tua dan (ii) tidak berfungsinya pondasi agama.
Penyataan psikolog kelahiran Aceh tersebut tampaknya terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Contoh saja keluarga, mereka yang diharapkan menjadi pihak pertama yang melindungi anak malah ikut menjadi ‘pemangsa’ anak-anak.
Keluarga terbukti belum mampu memberi perlindungan dengan sepenuhnya bagi anak. Seorang ayah, kakak lelaki, paman, hingga kakek, sampai hati ‘memangsa’ bocah-bocah perempuan yang konon masih bertalian darah dengan mereka sendiri. Ini sangat tidak masuk akal dan menunjukkan bahwa betapa para orang tua belum lah siap menjadi orang tua, dan para anggota keluarga pun belum siap menjadi sebuah keluarga.
Selain keluarga, imunitas agama dalam kehidupan masyarakat kita saat ini kenyataanya juga semakin lemah dan memprihatinkan. Tidak berfungsinya nilai-nilai dari ajaran-ajaran agama, membuat daya tahan keimanan tumbang, logika menjadi rapuh sehingga yang berfungsi cendrung bukan lagi akal sehat dan nurani, malah seperti tergantikan oleh insting layaknya hewan.
Hal-hal tersebut tanpa disadari kian membuat kasus kejahatan seksual terhadap anak meningkat dari waktu ke waktu bahkan mencapai angka demikian tinggi. Kondisi ini pun mengantarkan kita pada keadaan darurat nasional. Tentu saja darurat nasional bukan kabar gembira, melainkan sebuah keadaan mengkhawatirkan yang tidak bisa didiamkan begitu saja.
Fenomena ini pun harusnya jadi tamparan keras bagi masyarakat, terutama keluarga, lingkungan sosial, tenaga pendidik, bahkan sampai pemerintah. Mungkin selama ini kita semua, sibuk mengaku melindungi anak-anak, tapi kita lupa bahwa mereka manusia, bukan boneka, yang sudah seharusnya dilindungi dengan cara yang lebih manusiawi bukan seperti memperlakukan benda mati.
Lindungi Anak, Lindungi Aset Bangsa
Anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial,tapi sejatinya mereka adalah aset utama bagi masa depan bangsa. Mental dan fisik kuat pada anak akan terbentuk secara matang ketika anak tidak dicederai oleh berbagai kejahatan. Ketika fisik, mental, dan hak anak “diperkosa” maka aset bangsa yang kita persiapkan itu tentu akan cacat.
Itu sebabnya kita semua perlu memberi perlindungan bagi anak-anak. Disamping itu penguatan kembali nilai-nilai agama juga perlu dilakukan. Ajaran Agama merupakan perisai ampuh dalam menjaga seseorang dari penyimpangan, dan menyehatkan pikiran dari ‘sakit’ terutama yang diakibatkan oleh pergolakan-pergolakan biologis yang tak terkendalikan. 
Maraknya kejahatan Seksual terhadap anak yang bagaikan epidemi sebuah penyakit itu, patut diwaspadai, dicegah lalu disembuhkan segera agar tidak menjalar dan semakin mewabah ke segala pelosok negeri. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa membuat masyarakat akan semakin ‘sakit’.
Anak membutuhkan rasa tentram, kasih sayang, pengertian, pendidikan dan bimbingan. Setidaknya penerapan dengan sebaik-baiknya UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 bisa membawa sebuah ketrentraman untuk anak-anak indonesia. Dengan kita memberi hak anak untuk hidup tentram baik lahir maupun batin maka kita telah berusaha menyelamatkan bangsa ini serta mempersiapkan generasi unggul di masa depan.
Perlu diingat bahwa anak-anak juga manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita ‘memanusiakan’ sesama manusia agar kehidupan ini lebih mulia. Mungkin seperti kata-kata yang terdapat dalam sebuah film Bolywood, Taree Zameen Paar, bahwa setiap anak istimewa (Every child is special), maka oleh karena itu kita juga harus memperlakukan mereka secara istimewa..
(Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unimal dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III)
Sumber: Atjehlink.com
 
Top