AROMA pemilu kian terasa. Hentakannya membangunkan setiap orang,
memaksa segera bergegas menyimak, mendengar, melihat dan menyikapinya.
Dalam hitungan menit, semua bisa pecah, dapat pula direkatkan kembali.
Dan dalam hitungan menit pula, siapapun dapat tergilas seketika.
Demikanlah, arena politik makin menyadarkan kita akan hadirnya fenomena
baru di mata publik, yang memantik benak setiap jiwa untuk memberikan
makna yang seluas-luasnya.
Sekarang tarik-menarik kepentingan begitu kencang. Bahkan terkadang
proses tarik-menarik itu harus dilakukan dalam dua agenda politik,
dengan satu pusaran energi yang sama. Sedemikian terkurasnya energi
tersebut, hingga kerap mengakibatkan jatuh-bangunnya setiap pihak yang
menceburkan diri di dalamnya.
Di internal partai politik tidak kalah paniknya. Di saat partai ditagih
agar menyajikan kader-kader terbaiknya untuk maju pada pemilu, lebih
dari separuhnya justru ‘gagap’ menjawab; ternyata tak ada kader tulen.
Mengapa? Karena selama ini bangunan kampanye politik tidak dilangsungkan
dalam bentang waktu yang tak terhingga.
Terdapat sebuah penyamaan makna antara kampanye politik dengan kampanye
pemilu. Kedua pola kampanye ini disatu padukan hingga sebatas kesan adu
kekuatan, arak-arakan, orasi, berdangdut ria, dan sebagainya. Demikian
dikatakan Firmanzah dalam bukunya Persaingan Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketing Politik.
Padahal, lanjutnya, kampanye politik dan kampanye pemilu adalah dua hal
yang terpisahkan disebabkan oleh skala orientasi yang berbeda. Jika
kampanye pemilu yang dilakukan, maka target utamanya adalah menang. Dan
setelah lahir pemenang, terhentilah kampanye pemilu itu.
Lain halnya dengan kampanye politik. Pola ini sesungguhnya tidak
mengenal waktu. Pesan yang disampaikan juga bukan sekedar ajakan maupun
mobilisasi massa untuk menang atau terpental dalam kekalahan. Kampanye
politik sesungguhnya adalah sebuah praktik pencerahan dan penyadaran
publik atas pentingnya pelibatan semua pihak terhadap isu-isu politik.
Di samping itu, juga dipaparkan urgensi positif dalam sebuah pilihan
politik. Dalam proses pendewasaan berdemokrasi saat ini, ditemukan bahwa
publik masih mengalami penyimpangan persepsi tentang politik itu
sendiri. Dianggapnya, semua hal yang berkaitan dengan politik pastilah
berbanding lurus dengan kekotoran yang menjijikkan. Sedangkan, di sisi
lain, jika berbicara tentang kebijakan dan agenda kebangsaan, tentulah
tak luput dari ranah politik. Sebab tak satupun persoalan kebijakan yang
dapat berjalan tanpa sentuhan politik. Dan, bila ditinjau secara lebih
filosofis, ternyata tidak seorangpun luput dari politik. Sebab politik
merupakan fitrah Ilahi yang tak terbantahkan.
Tak salah bila kita menganggap persepsi ini sebagai bentuk distrosi
makna yang berbuah apatisme. Dan dalam apatisme tersebut, bermunculanlah
beragam ‘agenda tersembunyi’ yang sesungguhnya teramat tidak
menyehatkan iklim politik kita, khususnya di tingkat lokal.
Money politic misalnya, adalah salah satu bentuk penyimpangan
yang sangat mudah untuk ditemukan jika takut disebut dinikmati. Mengapa?
Sekali lagi, karena publik saat ini juga sedang gagap dan apatis
menyikapi setiap persoalan politik. Inilah persoalan utama yang dihadapi
partai politik bila tidak ingin disebut sebagai bagian dari bentuk
kegagalan besar yang berkepanjangan.
Pada sisi lain, kepemimpinan yang kokoh pada dasarnya dapat ditilik
pada sejauh mana Sang Kandidat memiliki tingkat legitimasi yang ‘tahan
banting’. Dalam pandangan Max Weber (1968), legitimasi publik terhadap
seorang kandidat setidaknya bersumber pada tiga hal.
Pertama, legitimasi rasional, yang meliputi track record, background,
prestasi, reputasi dan semua kinerja positif yang selama ini telah
terpatri di memori publik. Pada aspek ini, peluang incumbent untuk
menang akan sangat mudah, asalkan mampu merakit jejak prestasinya di
mata publik. Dengan menggerakkan segenap potensi aparatusnya dalam satu
periode, segera, tanpa tawar-menawar, incumbent mendapat tempat di hati
publik. Untuk melacak respon pemilih terhadap legitimasi ini, bersumber
dari dua arah yaitu masyarakat tradisional dan masyarakat rasional.
Kedua, legitimasi kultural, meliputi aspek kharisma, nilai, simbol, tradisional magyc,
garis genetika dan aura kepemimpinan. Nilai kharismatik dan aura
kepemimpinan seseorang akan berfungsi efektif ketika dikemas dalam kesan
kesantunan, jiwa pemaaf, sekaligus nuansa kebersahajaan. Sebaliknya,
seorang kandidat yang gegabah menyandang predikat ini, akan terkesan
ceroboh, bahkan tidak mustahil dapat menjadi bumerang bagi yang
bersangkutan.
Pada sisi ini, tingkat pemilih tradisional-emosional relatif cukup
tinggi. Namun yang mengkhawatirkan, ketika pemilih tersebut sulit untuk
dikelola, serta tak sanggup menerima realitas atas dinamika yang terjadi
di kancah politik. Karena itu, di samping legitimasi kultural
memudahkan kita untuk mendeteksi tingkat keterpilihan publik, sebaliknya
juga kerap menjadi ‘racun’ yang sulit dilenyapkan seketika.
Untuk mengimbangi fenomena ini, nilai kharismatik tidak cukup.
Dibutuhkan seorang aktor pelengkap yang memiliki etos kreasi yang
memiliki wawasan kepemerintahan dan insting politik yang terukur dan
terarah. Selain karena dipandang mampu, juga karena dianggap layak
mendongkrak dan ‘menghipnotis’ suara massa rasional, yang meliputi
kalangan muda dan terpelajar.
Ketiga, legitimasi instrumental yang menyangkut aspek skil, jejak
pendidikan, dan intelegensia yang dimiliki oleh masing-masing kandidat.
Jika pada pilihan pertama dan kedua di atas masih terasa sekat
pertentangannya, maka opsi ketiga ini pada hakikatnya mengantar kita
untuk tidak sekedar menjadi pemilih ada adanya. Lebih dari itu,
legitimasi instrumental mengajak kita membuka diri untuk mengakui
eksistensi kemanusiaan setiap orang dan mengenalinya berdasarkan pada
jejak keahlian dan kelihaian yang ditorehkannya. Pada sisi ini pula,
kita akan menemukan pisau pembeda antara “yang bekerja” dan “yang
berkarya”. Perbedaannya sulit diterawang, namun hasilnya terang
benderang.
Di Indonesia, tarik-menarik kepentingan jelang pemilu tentu bukan hal
yang tabu lagi. Pusaran setiap komunitas akan menjadi incaran yang unik
untuk dipertontonkan. Akan tetapi, agaknya lebih awal harus
diproklamirkan agar setiap pihak berkenan mengheningkan cipta, merenungi
diri, meresapi masa lalu, menatap masa depan, dan membeningkan hati.
Ritual mengheningkan cipta menjadi penting, agar semua orang merasakan
dan dapat menarik energi positif untuk menatap masa depan yang lebih
baik. Lalu apa yang kita lakukan setelah itu? Bersiaplah untuk menyimak
satu demi satu tampilan para kontestan seraya mengukurnya dalam beberapa
hal.
Pertama, harga diri manusia hanya seharga dengan harga yang disematkan pada dirinya. Jika ia pahatkan dirinya pada lembaran-lembaran rupiah saja, maka punahlah harga dirinya sebagai manusia pencari kesempurnaan. Jikapun masih ada pledoi yang dilontarkan dengan alasan kebutuhan perut, maka binatang-pun dapat berkata sama; mereka ramai-ramai berteriak hanya karena kebutuhan makan saja.
Kedua, demi pendewasaan berpolitik, seharusnya semua pihak siap untuk
“membuka diri”, menerima hasil racikan orang lain, tanpa memandang siapa
yang meraciknya. Pada saat yang sama, kita sesungguhnya sedang
merangkak menuju fase politik yang mencerahkan dan menyadarkan.
Ketiga, pemilu sesungguhnya bukanlah arena “babat generasi”, bukan
arena pertarungan tua-muda, bukan pula gelanggang kudeta kekuasaan. Kita
tidak sedang bertahan pada serpihan-serpihan titik pecah, sebab yang
terpenting adalah memungut keping-keping yang pecah untuk dipertautkan
satu sama lain. Intinya, tua-muda jangan dipahami dalam bingkai
binnerian, namun pahamilah sebagai mitra sejajar yang dapat saling
melengkapi, bukan mencederai.
Keempat, komitmen bersama untuk mengedepankan visi dan misi setiap
kandidat sangatlah mendesak. Di pentas adu visi ini, publik layak
mengeliminasi, menyeleksi, bahkan mengaborsi setiap kandidat yang
sekedar mementingkan nilai retorika yang memukau, meski konsep yang
dipertaruhkan terlampau pincang.
Akhirnya, kita tak punya kesimpulan yang runtut, selain mendorong
masing-masing pihak untuk turut menggiring isu politik ini pada garis
yang selurus dengan nilai, norma dan kehormatan. Kesemuanya itu hanya
akan mewujud, jika segenap pihak berkenan memancangkan diri dalam
barisan orang-orang yang mengikrarkan jiwa raganya untuk merawat ruang
politik menjadi kian kompetitif, bukan konfrontatif.
(Ody Yunanda)