Advertistment

 

EMPAT anak yang usianya dari 3 sampai 7 tahun itu sedang menghabiskan waktu sore di depan rumah. Wajahnya terlihat kering, rambutnya gersang tak berminyak, baju sedikit lusuh membalut badannya. Terlihat betis dan serta wajah hanya kulit yang membungkus tulang.

Sore itu, mereka  saling bercanda satu sama lain, mereka ini masih satu keluarga,  dari 8 bersaudara. 4 lagi kakak dan abang mereka bekerja dan sedang bermain ke tempat temannnya. Sementara ibunya 30 tahun dari segi wajah terkesan sudah seperti nenek. Bukan dari segi lemahnya fisik, namun terlihat dari wajah. Sekilas terlihat 4 anak yang bermain dihadapannya adalah cucunya, bukan lah anaknya.

Keluarga ini adalah salah satu keluarga miskin di desa itu, tidak memiliki rumah. Mereka masih tinggal dirumah mertua yang juga kondisin

Semua warga desa itu miris melihat keluarga ini, bayangkan sudah menjadi berita harian, cerita kesedihan sering terdengar sama warga. Bayangkan sudah sering jam  20:00 wib malam,   sang ibu masih mencari beras untuk dimasak. Itupun yang dicari atau minta utangan, tidak banyak, hanya 2 kaleng sus,  untuk dikonsumsi  11 orang.

Begitu juga dikala pagi, pukul 10 pagi belum tentu sejumlah anak itu sudah sarapan. Ibunya harus menunggu dibayar upahan oleh orang lain, baru kemudian membelanjakan kebutuhan pokok dan dimasak untuk dimakan anak-anaknya.

Belum lagi cerita tentang menu masakan  sehari-hari keluarga. Bayangkan untuk 30 hari dalam bulan, mungkin  hanya beberapa hari saja dapat makan  ditemani lauk pauk. Nasi dengan garam sudah menjadi menu rutin keluarga ini.

Bocah -bocah itu bila dilihat badan dan wajahnya sangat butuh makanan, namun mereka tidak berteriak, mereka berusaha bermain seperti sejumlah anak yang lain. Walau terkadang lalu lintas penjual di  jalan depan rumahnya menjadi mimpi buruk bagi mereka.

kalau hari-hari, suara terompet dan aneka bunyi yang lain menandakan ada penjual yang lewat. Merekapun  menghentikan segala permainan, dan seperti ada yang komando, ke empat bocah itu berdiri dan melihat gerobak itu lewat sampai jauh, mereka memegang mulut, baru sejenak  kemudian mereka  bermain kembali.
Tidak lama berselang orang jualan makanan yang lain pun muncul, kali -ini melihat anak –anak sedang bermain penjual itu memilih langsung berhenti.

Apa yang terjadi ?  anak –anak itu menghampiri dan melihat secara seksama toples berisikan  donat. Ibunya yang duduk dikursi tidak jauh dari itu, asik, mengobrol dengan seorang tetangga. Ibunya  seakan sedang serius sendiri dan memilih tidak peduli ada penjual yang sudah memarkirkan sepeda motornya. Sementara beberapa bocah terlihat senyam-senyum gembira melihat warna warni Donat  itu.

Mungkin karena si ibu tidak respon, akhirnya sang penjual, menawarkan? “Kue Bu,” Tanya penjual itu.
Ibu sang bocah itu menoleh, sembari  melambaikan tangan, pertanda– tidak. Starter sepeda motor sang penjual kue berbunyi, iapun pun pergi karena tidak ada yang beli.

Bocah itu tidak merinsek setapak pun dari samping toples yang terikat bagian belakang sepeda motor. Secara pelan toples yang sedari tadi dipandangi berlalu pergi. Ke empat bocah itu kembali mengelus mulutnya dan saling memandang,  seakan mereka terhanyut dalam lamunan, tentang enaknya melahap donat itu, namun untuk sekian kalinya terpaksa menunda kembali untuk menikmati donat warna-warni yang baru saja dilihatnya.

Tinggal di sebuah Desa di ujung Timur Aceh itu. Keluarga itu tergolong satu-satunya warga Desa itu yang limit kelahiran sangat dekat, lebih jelasnya boleh kita sebutkan adalah setahun –satu. Kalau boleh disebutkan, belum pas berjalan yang satu, sudah lahir yang lain. Namun itu mungkin rezeki dari yang maha kuasa untuknya. Namun  dengan mengandalkan pendapatan utama   sepetak tanah sawah yang panennya 4 bulan sekali atau dua tahun sekali, jelas tidak cukup untuk memayungi semua kebutuhan  keluarga besar  itu.

Pastinya kehidupan seperti ini di Aceh, walaupun daerah ini sering dininabobokan oleh orang lain bahwa memiliki sumber alam melimpah dan seakan-akan semuanya penduduk hidup dalam kondisi kehidupan yang stabil. Bahkan sering menjadi kebanggaan ketika orang di propinsi tetangga memuji sebagian orang yang datang kesana dengan mobil mewah untuk mengisi liburan kerja, bahwa penduduk  Aceh Kaya.

Pujian ini justru bukan cuma datang dari para tetangga, justru pujian dan mengumbar keagungan dan berbuat kesejahteraan rakyat yang kemudian jadi semangat , justru sering kali terjadi beberapa waktu lalu, umbaran itu di muntahkan oleh  para calon baik bupati, walikota hingga calon Gubernur.

Namun kemudian setelah terpilih, dan sesuai fakta yang terjadi kesejahteraan masih jauh dari harapan, maka si pengumbar mencari kata penganan yang cocok untuk di jawab dikondisi sekarang. Tidak jarang Konflik masa lalu menjadi alasan masyarakat masih hidup setengah lapar.

Tetapi dari serangkaian alasan tersebut yang paling aneh adalah untuk penganggaran jatah uang bagi para pengelola propinsi Aceh, Kota dan Kabupaten, terus mulus tidak ada hambatan karena konflik masa lalu. Ha..ha…ha…Nah — artinya hambatan itu hanya khususan untuk masyarakat bawah, begitukah kira-kira ?
Keluarga yang tersebut diatas merupakan salah satu potret kepiluan kemiskinan yang selama ini mendera penduduk pedalaman Aceh. Masih banyak bocah –bocah lain yang terpaksa setiap saat harus menelan ludah, karena untuk menikmati makanan lain selalu terhambat karena orang tua mereka  tidak sanggup untuk membeli.

Untuk ini mungkin ada dua bait lagu yang cocok dinyanyikan: Nanggroe Aceh, Tanoh yang meugah (tanah yang meugah), asee meulimpah (hasil berlimpah ), Pusaka kaya. Lalu kita sambung lagi , Rakyatnya deuk (lapar), dan  gerah meleumpah.  Pemimpin -pura -pura –wajah  shaleh dan shalehah tidak juga membawa sejahtera. (Aceh baru)


 
Top