NEWS OBSERVASI - hari - hari Sri Maulita (14), kini tidak lagi seindah tiga tahun lalu. Meski terlahir dalam keluarga miskin, kala itu Maulita masih bisa menikmati masa-masa kanak- kanak, seperti anak-anak lainnya di Gampong Meunasah Daboh, Reubee, Kecamatan Delima, Pidie.
Namun, hari-hari bahagia Maulita mulai terenggut saat sang ayah tercinta, Mukhlis Ibrahim, menghadap Ilahi pada bulan Ramadhan tahun 2011 lalu. Sejak itu, Sri Maulita hidup bersama ibundanya Darma (32), abangnya Arismunandar (kini berusia 16 tahun dan berstatus siswa MAN Delima), serta adik perempuannya, Khairun Nisa Fitri (12).
Kehidupan keluarganya yang serba kesulitan, telah menempa Sri Maulita menjadi anak yang tabah dan sabar menghadapi cobaan. Ia bersama abangnya, terkadang juga adiknya yang kini duduk di kelas 6 MIN Reubee, ikut bekerja membantu sang ibunda sebagai pekerja upahan menggarap sawah.
Awalnya semua berjalan normal, seperti kehidupan kebanyakan warga miskin dan yatim di pedalaman Aceh. Hingga sejak tiga bulan terakhir, tepatnya pada November 2013, Darma melihat perubahan pada diri putrinya.
Sri Maulita yang biasanya ceria, sering terlihat murung dan kerap menyendiri. Ia juga tidak lagi mampu mengayuh sepeda untuk menuju sekolahnya di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Gampong Aree, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya.
"Terkadang, saya menemukan Maulita menangis sendiri. Saat kelelahan waktu pulang sekolah, tubuhnya kerap bergetar dan suhu badannya panas," ungkap Darma, ketika ditemui Serambinews.com, di rumahnya, Gampong Daboh Reubee, Pidie, Jumat (1/1/2014).
Saat itu, kami duduk di bawah rumah Darma yang berbentuk rumah adat Aceh. Sebagian rumah berkontruksi kayu itu mulai lapuk dimakan usia. Sesekali, Sekretaris Desa Meunasah Daboh, Ibrahim, angkat bicara menjelaskan kondisi Maulita. Di situ juga ada Nurhayati, istri Ibrahim yang juga kakak dari Darma.
Nurhayati lah yang selalu menemani Darma setiap kali membawa Maulita ke puskesmas, dokter di Sigli, hingga ke RSUZA di Banda Aceh. Sebab itu pula, cerita tentang ihwal penyakit Maulita lebih banyak keluar dari mulut Nurhayati. Sementara Darma sibuk menyuapkan nasi ke mulut Maulita.
"Dalam kondisi tidak capek seperti saat ini juga jantungnya berdebar kencang," kata Nurhayati sambil memegang dada keponakannya.
Setiap kali penyakit itu datang, Darma ditemani Nurhayati, selalu membawa Maulita ke Puskesmas di Reubee. "Setelah diberi obat, tubuh Maulita kembali tenang. Dalam seminggu sampai tiga kali kami harus membawanya ke puskesmas. Sejak itu, Maulita mulai jarang ke sekolah, karena tenaganya mulai melemah akibat kurang makan dan tidur," kata Nurhayati seraya menggenggam pergelangan tangan Maulita yang terlihat kecil untuk ukuran anak seusianya.
Setelah sebulan lebih bertahan dengan obat puskesmas, keluarga memutuskan membawa Maulita ke dokter ahli penyakit dalam di Sigli, Pidie. Setelah melalui rekam medis baru diketahui, ternyata Maulita mengalami bocor jantung. "Dikasih nampak fotonya, atas bawah bocor," kata Nurhayati yang mengambil alih pembicaraan, karena Darma sudah tidak mampu lagi mengungkapkan kata- kata.
Tanpa menunggu lama, dokter di Sigli langsung mengeluarkan rujukan agar Maulita dirawat di RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. "Tapi setelah kami ke RSUZA, saat itu sekitar tanggal 23 Januari, perawat di sana bilang tidak ada kamar, sehingga oleh dokter kami dikasih obat dan disuruh pulang dan disuruh balik lagi saat obat habis," kata Nurhayati.
Setelah sepekan di kampung, pada Rabu (29/1/2014), Maulita bersama ibunya, serta Sekdes Ibrahim kembali berangkat ke Banda Aceh. "Dokter bilang, Maulita harus dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, di Jakarta. Butuh prosedur untuk sampai ke situ. Kami pun disuruh pulang lagi, jika ada kabar dari Jakarta nanti akan dihubungi," kata Ibrahim.
Satu hal yang membuat Ibrahim galau dengan nasib warganya. Informasi diperoleh dari pihak RSUZA, pihak keluarga harus memberangkatkan Maulita ke Jakarta dengan ongkos pribadi, karena Maulita bukan pemegang kartu JKRA (Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh).
"Kata petugas di rumah sakit, Maulita sudah tercatat di Jamkesmas, maka tidak boleh masuk JKRA. Persoalannya Jamkesmas ini hanya menanggung biaya berobat, sedangkan ongkos berangkatnya ditanggung sendiri. Inilah yang membuat kami bingung," ujarnya.
"Kami mohon, jika boleh minta tolong agar biaya keberangkatan Maulita bisa ditanggung dengan program JKRA. Kasian anak ini, sudah yatim, keluarganya juga miskin," tambah Ibrahim.
Sekretaris Desa Daboh ini juga berharap ada warga yang tergerak membantu meringankan beban Maulita, terutama biaya hidup selama berada di Jakarta. "Jika ada yang ingin membantu dana bisa dikirim langsung ke rekening bank yang biasanya digunakan untuk menerima beasiswa yatim dari Pemerintah Aceh, yakni di rekening Bank AcehCapem Grong-grong 083.02.06.620079-1 atas nama Sri Maulita. Semoga Allah membalas amal jariah kita," ujar Ibrahim. (Serambi)