Oleh : Ferry Afrizal
Sekelumit kisah dan sejarah kelam
pernah dilalui oleh rakyat aceh yang sebelumnya pernah memberikan modal
pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia yakni Pesawat Terbang yang
bisa digunakan untuk kepentingan diplomasi kenegaraan.
Dengan
diberikannya keistimewaan bagi provinsi Aceh masyarakat menaruh harapan
besar akan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat aceh yang menghuni
tanah kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), namun penghianatan seorang
kepala negara membuat perlawanan rakyat terhadap negara melalui DI/TII
tidak dapat dielakkan, begitulah halnya perilaku budak yang sungguh
pintar dengan rayuan sehingga pemimpin DI/TII Tgk. Daud Beureueh kala
itu menyerah.
Tahun dan masa silih berganti namun apa yang pernah
dijanjikan oleh seorang kepala negara yang “terhormat” tiada kunjung
ditepati, akhirnya seorang tokoh sentral aceh kala itu membentuk
Organisasi yang bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kembali
mendeklarasikan kemerdekaan aceh tepatnya pada tanggal 04 Desember 1976
di gunung Halimuen oleh Hasan Tiro.
Terlepas dari sejarah
penghianatan Soekarno terhadap rakyat aceh dan perjuangan kemerdekaan
aceh, tercatat dalam sejarah yang tiada pernah ditulis oleh presiden
sekalipun yang bahwa diera tahun 1989-1998 disaat pemberlakuan Daerah
Operasi Militer (DOM) diaceh yang kala itu presiden Indonesia dijabat
oleh Soeharto yang mengakibatkan berbagai kerugian yang dialami oleh
rakyat aceh, diantaranya pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, penjarahan
harta benda yang berakibat banyaknya janda dan anak yatim terlantar,
pernahkah negara peduli ? jawabannya adalah tidak.
Berdasarkan
fakta sejarah, diera 1989-1998 tercatat sebanyak 871 orang tewas di TKP
akibat tindak kekerasan, 387 orang ditemukan mati, 550 orang hilang,
368 korban penganiayaan, 120 korban rumah dibakar, 102 korban
pemerkosaan (data dari Koalisi NGO HAM Aceh). Kita pasti bertanya-tanya
siapa yang terlibat dalam berbagai insiden saat diberlakukannya DOM di
Aceh ? yang terlibat dalam DOM di aceh antara lain Jend (Purn) H. M.
Soeharto/Presiden RI, Jend (Purn) L.B Murdani/Menteri Pertahanan dan
keamanan, Jend (Purn) Try Sutrisno/Pangab ABRI, Lejend (Purn) Syarwan
Hamid/Danrem 011 Lilawangsa Aceh, Mayjend (Purn) H.R Pramono/Pangdam I
Bukit Barisan, Letjend Prabowo Subianto/Komandan Intelijen Kopassus dan
Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA/Gubernur Aceh Periode 1986-1991 (tertera
dalam Buku FAKTA BERBICARA “Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh
1989-2005” Penerbit Koalisi NGO HAM Aceh).
Walaupun waktu berjalan
tiada menunggu untuk berbaring sejenak, namun luka dan duka yang pernah
dialami oleh segenap korban tiada dapat dilupakan begitu saja, walaupun
kini Aceh kembali kepangkuan NKRI dengan ditandatanganinya Perdamaian
antara Pemerintah RI-GAM pada tahun 2005 silam. Perdamian aceh telah
berusia kurang lebih 8 tahun namun upaya penyelesaian terhadap kasus
pelanggaran HAM masa lalu diaceh tak kunjung tiba, para korban hidup
dalam keterpurukan dan trauma sedangkan para pelaku sekarang menjadi
tokoh dinegeri para bedebah ini, memang perdamaian Aceh membawa
ketenangan bagi kalangan yang berjiwa budak dan kapital, hal ini
dibuktikan ketika banyak orang yang memperebutkan kursi baik
eksekutif maupun legislatif. Diakui ataupun tidak kelompok GAM yang
dulunya bersama-sama mendaki gunung sambil menenteng senjata kini telah
pecah kocar kacir akibat adanya “teman istimewa” sehingga dari sudut
mata telanjang kita dapat melihat ada yang jaya dengan mobil mewahnya
ada juga yang papa dengan cara apa mencari nafkahnya.
Banyak
kalangan mengakui bahwa inisiatif perdamaian aceh untuk menghentikan
perang yang setelah bertahun-tahun berkecamuk dan mengakibatkan darah
berhamburan pembakaran serta banyaknya nyawa melayang, antara lain DOM,
Tragedi Jamboe Kupok, Pembantaian di Buetong Ateueh, Tragedi Gedung KNPI
Lhokseumawe, Tragedi Arakundo, Tragedi Rumoh Geudong, Tragedi Simpang
KKA, dan pembantaian lain yang pernah dialami oleh rakyat aceh pada masa
konflik.
Namun demikian, tulisan ini ditulis bukan semata untuk
memancing serta membangkitkan dendam masa lalu, tapi yang namanya
sejarah kelam akan pelanggaran HAM masa lalu di aceh bukan untuk
dilupakan melainkan untuk diselesaikan sebagaimana hukum yang berlaku
dinegara ini.
Secara azaz dan prinsip hukum dinegara kita, hukum
berlaku bagi tiap orang tanpa terkecuali, the rule of law mencerminkan
negara indonesia bukanlah negara kekuasaan tapi negara berdasarkan hukum
juga equality befor the law menandakan bahwa tiap orang mempunyai hak
yang sama didepan hukum. Patutkah pembantaian masa lalu diselesaikan
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM Aceh,
hanya orang-orang yang lahir sebagai budak dan bedebahlah yang berani
mengatakan tidak, atau ada yang takut dirinya terjerat ?
Kembali
kepada sejarah perang yang menyisakan korban, penulis kembali
menanyakan kepada yang berkompeten menjawabnya, Pernahkah mereka
menyadari kursi yang mereka duduki sekarang atas luka siapa, atas nyawa
siapa ? Apakah para korban mati untuk jabatan mereka, anak yatim dan
janda menderita tujuannya untuk kursi Gubernur dan DPR ? Entahlah.
*Tulisan ini dipersembahkan kepada para korban Pelanggaran HAM di Aceh.
Penulis
adalah Alumni Sekolah Hak Asasi Manusia (HAM) di Komisi Orang hilang
dan Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta, juga seorang mahasiswa Fakultas
Hukum/Hukum Tata Negara Universitas Malikussaleh dan mendirikan
Organisasi Mahasiswa yang Konsent terhadap Isu-isu Hak Asasi Manusia
(HAM) yang bernama Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh dan juga sebagai
Volunter/relawan di LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe.