OBSERVASI | JAKARTA :
Kebutuhan konsumsi energi yang terus meningkat namun tak dibarengi
dengan peningkatan produktivitas, mengancam ketahanan energi. Diprediksi
pada 2018, Indonesia menjadi negara importir minyak terbesar dunia.
Hal itu disampaikan oleh Vice President of New Venture Business
Development Investment Planning and Risk Management PT Pertamina
(Persero), Ardhy N. Mokobombang, dalam sebuah diskusi bertemakan
ketahanan energi di Jakarta, Senin (30/9/2013).
"Pada 2020 impor kita bisa tiga kali lipat dibanding tahun ini.
Bagaimana mau ketahanan energi karena kita harus ambil tiga kali lipat,
padahal refinary tidak tumbuh," kata Ardhy.
Pada 2018 nanti, Amerika Serikat dan Meksiko disebut-sebut sebagai negara eksportir minyak terbesar.
Ardhy mengatakan, konsumsi minyak setahun terakhir mencapai 10
persen. Pada 2012 sebesar 45 juta kiloliter, sementara pada 2013
diperkirakan mencapai 50 juta kiloliter. Sementara itu produksi minyak
dalam negeri tetap minim, di kisaran 840-850 barel per hari (bph).
Ia mengatakan, tidak hanya Indonesia, banyak negara Asia Pasifik
mengalami pertumbuhan permintaan, namun juga tidak menambah kapasitas
produksi dengan membangun kilang minyak.
"Hanya beberapa yang membangun seperti, China, India dan Timur Tengah," kata dia.
Di sisi lain, ia menilai upaya untuk mencapai ketahanan energi
dimulai dari itikad kebikakan pemerintah. Ia mengatakan Pertamina
sebaiknya diberikan kebebasan dalam menentukan sistem tender yang
berbeda dari yang diatur pemerintah.
Selain itu, ia juga berharap Pertamina diberikan kewenangan untuk
menjual 100 persen produksinya ke pasar domestik. Asal tahu saja,
produksi lebih dari 800 ribu bph tersebut, separo diantaranya diekspor,
karena milik KKKS asing, atau kerjasama.
Ia mengatakan, agar kekhawatiran sebagai net importer pada 2018 tidak terjadi, setidaknya dibutuhkan 2-3 kilang minyak.
(Kompas)