Advertistment

 

OBSERVASI | ACEH :
Polemik soal rencana bendera Aceh yang persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) rupanya menjadi perhatian pemerintah Jepang. Untuk menanyakan masalah itu dengan jelas, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta mengutus Staf Ahli Bidang Politik Naoyuki Shintani untuk bertemu dengan Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid.

Dalam pertemuan di ruang kerja Ahmad Farhan, Lt. 9, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, 22 Juli, Naoyuki mengungkapkan dirinya menemui Ahmad Farhan selain sebagai politikus parlemen yang sudah banyak pengalaman, ia juga seorang putra asli Aceh. Tak hanya bendera yang ditanyakan oleh pria asal Hiroshima itu namun ia juga menanyakan soal pemerintahan Aceh.

Mendapat pertanyaan yang demikian, Ahmad Farhan menjelaskan selepas era reformasi ada perubahan-perubahan di Aceh, baik di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid maupun Megawati terbukti dengan lahirnya UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Nama Nanggroe Aceh Darussalam menurut Ahmad Farhan bukan ciptaan orang-orang GAM namun ciptaan diri dan rekan-rekannya. “Nama itu membuat rakyat Aceh merasa senang,” ujarnya.

Ahmad Farhan menjelaskan bahwa kata nanggroe itu artinya bukan state atau negara namun seperti kampung, desa, dan wilayah. Sedang darussalam memiliki arti sebuah negeri yang yang tentram dan dirahmati oleh Allah. “Darussalam dalam agama Islam adalah sebuah doa,” ujarnya. Sehingga arti dari Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah wilayah yang tentram dan diberkahi oleh Allah. 

Namun diakui dari penamaan Nanggroe Aceh Darussalam yang disingkat NAD itu menimbulkan ketidakenakan. Pertama, singkatan NAD dalam salah satu bahasa daerah mempunyai arti sambungan antarkeramik sehingga singkatan itu dirasa kurang tepat. Kedua, biasanya dalam event-event nasional seperti PON dan MTQ, dalam defile Provinsi Aceh selalu urutan pertama karena berdasar urut-urutan alfabhet,  awal huruf Aceh adalah A. Namun setelah menjadi NAD urutannya menjadi melorot dalam defile karena awal hurufnya N.

Meski ada UU. No. 18 Tahun 2001 namun dirasa masalah di Aceh belum selesai sehingga terjadilah Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Dari perjanjian itu lahirlah UU. No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Selepas disyahkannya undang-undang itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diberi amanat untuk menenentukan nama provinsi. “Ini menjadi hutang bagi DPRA untuk memberi nama apa pada Aceh,” ujarnya. Diungkapkan dalam masa Aceh di bawah Gubernur Irwandi Yusuf, Irwandi menamakan Aceh dengan nama Provinsi Aceh. Nama itu diakui oleh Ahmad Farhan belum disyahkan. Menanggapi hal demikian ia bertanya mengapa tidak pemerintah pusat saja yang menetapkan nama. Dirinya mengusulkan namanya, Aceh Darussalam dan nama keseharian disebut Aceh. “DKI Jakarta dengan nama keseharian Jakarta dan DI Jogjakarta dengan nama keseharian Jogjakarta,” ujarnya.

Kepada Naoyuki, Ahmad Farhan pun juga menerangkan soal bendera Aceh. Dituturkan bahwa masing-masing provinsi memiliki bendera namun disebutnya pataka. Sebelum bendera seperti yang sekarang dihebohkan itu, Aceh memiliki pataka yang berlambang Pancacita. Menjadi problem dari bendera Aceh menurut Ahmad Farhan karena bendera itu persis dengan bendera GAM.

Keputusan DPRA menyepakati bendera persis GAM sebagai calon bendera Aceh karena mayoritas anggota DPRA dari Partai Aceh (PA). Menurut Ahmad Farhan, PA diisi oleh mantan anggota GAM sehingga Fraksi PA di DPRA adalah saluran politik GAM.

Ahmad Farhan mengakui Aceh di masa Irwandi Yusuf maupun Zaini Abdullah, yang dua-duanya berasal dari PA, belum mampu mensejahterakan masyarakat Aceh. Untuk mengobati kekecewaan dan melupakan ketidaksejahteraan yang belum tercipta maka orang-orang PA membangkitkan emosi rakyat Aceh dengan menaikkan simbol-simbol GAM. “Simbol-simbol itu untuk menarik masyarakat,” ujarnya.
Bagi pemerintah pusat, bendera itu menimbulkan sensitifitas karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 77 Tentang Bendera dan Lambang Daerah. Sensitifitas karena bendera itu bisa menjadi benih-benih separatisme. Bila bendera itu diijinkan maka daerah-daerah lainnya juga bisa terjadi, di mana masing-masing daerah akan membuat bendera yang menggambarkan kelompok separatis.

Untuk menghadapi masalah yang demikian, pmerintah Aceh dan DPRA telah melakukan pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri sebanyak 3 kali, di Banda Aceh, Batam, dan Makassar. Karena dalam pertemuan itu juga belum menghasilkan kesepakatan maka Kementerian Dalam Negeri dan DPRA serta pemerintah Aceh menyepakati masa cooling down. Meski demikian, Ahmad Farhan yakin bahwa masalah itu tidak akan menimbulkan konflik. Di internal masyarakat Aceh sendiri masalah bendera itu juga belum adanya kesatuan pendapat. Beberapa wilayah di provinsi itu seperti Gayo juga tidak berkenan dengan bendera persis GAM itu. “Mereka menyebut bendera itu hanya simbol salah satu kelompok,” ujarnya. 
 
Sumber: Acehshimbun

 
Top