Mudesir, SE (Koordinator ATPA) |
Banda Aceh, NEWS OBSERVASI - Menanggapi
hasil keputusan Pemerintah Aceh melalui Pergub Nomor 78 Tahun 2013
dengan menetapkan UMP Upah Minimum Provinsi yang berjumlah Rp.
1.750.000, Aliansi Tunas Pengusaha Aceh (ATPA) melalui siaran Pers memberikan apresiasi yang
sangat luar biasa terhadap political will Pemerintah Aceh, namun ada
beberapa hal yang perlu di garis bawahi dan menjadi catatan dalam
kebijakan yang telah di keluarkan tersebut bahwasanya kita jangan sampai
terkontaminasi dengan keadaan yang hari ini berkembang di jakarta dan
jawa di karenakan kondisi aceh hari ini berbeda dengan jakarta, jakarta
terkait buruh-buruh pabrik jelas status dan keberadaannya namun aceh
pabrik saja jarang apalagi berbicara buruh ini menjadi tanda tanya besar
yaitu katagori buruh seperti apa,namun standar upah yang di putuskan
memang harus di putuskan dengan nilai nominal yang lebih dari sebelumnya
dan sesuai dengan hasil survey di daerah dan kebutuhan hidup layak di
karenakan tingkatan kebutuhan standar ekenomi yang cukup tinggi,
selanjutnya kondisi aceh hari ini dalam pertumbuhan ekonomi di penuhi
oleh perusahan leasing dan juga perhotelan. Kondisi upah yang diterima
oleh para pekerja butuh evaluasi pasalnya pada standar upah minimum yang
telah di tentukan pada saat ini yaitu dengan jumlah 1.500.000 saja
masih belum seragam, belum berjalan dan bahkan masih banyak yang belum
menerapkan UMP yang telah di tetapkan oleh pemerintah, hasil penelusuran
dan turun ke lapangan yang kami lakukan banyak dari pegawai atau dengan
kata lain pekerja yang berada di perusahaan swasta, BUMD, leasing dan
perhotelan secara standar gaji masih jauh dari upah minimum yang di
tetapkan dan ini sebenarnya menjadi masalah apalagi standar yang akan
diberlakukan pada 1 januari 2014 yang jumlahnya lebih tinggi lagi. Kami
sangat khawatir terhadap implementasi UMP bila Pemerintah Aceh cuma
sekedar menerapkan saja tanpa ada sinkronisasi dan koordinasi dg
perusahaan dan pengusaha serta kontrol yang intens dari pemerintah.
Hal
serupa di utarakan oleh ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(HIMPI) cabang Aceh Jaya mengatakan bahwasanya salah jika geuchik mau
disamakan standar upah dengan buruh di karenakan geuchik merupakan
pejabat skala terkecil dalam struktur pemerintahan daerah seharusnya
upah atau intensif yang di inginkan seharusnya lebih tinggi di karenakan
beban dan tanggung jawab yang besar tanpa jam tugas yang jelas.
Sehingga tidak layak jika para geuchik ingin disamakan dengan buruh.
Kami
Aliansi Tunas Pengusaha Aceh meminta kepada pemerintah aceh
benar-benar mengeluarkan kebijakan ini dengan standar penegasan yang
benar-benar tercontrol bahkan sampai ke tataran realisasi di lapangan,
sehingga peraturan gubernur ini benar-benar akan berjalan dengan ideal
bukan hanya sebatas peraturan dan kebijakan saja, namun kesejahteraan
pekerja buruh bisa mencapai standar kelayakan.
Dan
juga kami mengharapkan adanya komunikasi serta koordinasi antara
pemerintah aceh dan juga para pengusaha yang berada di aceh sehingga
segala kebijakan yang dicanangkan akan menghasilkan hasil yang maksimal
untuk kesejahteraan rakyat. Kami juga menegaskan kepada para pengusaha
baik ritel, BUMD, leasing, perusahaan swasta dll agar betul betul
menerapkan standar UMP yang di keluarkan oleh Pemerintah Aceh, jangan
cuma memanfaatkan tenaga buruh namun kesejahteraan mereka terabaikan. (Win/Rilis)