Banda Aceh, NEWS OBSERVASI - Korban konflik Aceh mengharapkan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 27 Desember 2013, segera diterapkan. Mereka menginginkan qanun bisa memberikan keadilan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di provinsi paling barat Indonesia itu.
Fatimah, korban konflik asal Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Selasa (13/5), menyebutkan sudah bertahun-tahun mencari keberadaan anaknya yang hilang saat konflik pada 2001, setelah diambil aparat keamanan.
“Saat itu, anak saya baru berumur 23 tahun. Namun, hingga kini saya tidak tahu keberadaannya, apakah masih hidup atau sudah meninggal,” ujar Fatimah.
Menurut Fatimah, ia tidak mengharapkan aparat keamanan yang telah mengambil anaknya dihukum. Ia hanya ingin kepastian apakah anaknya masih hidup atau sudah meninggal.
“Kalaupun anak saya sudah meninggal, saya hanya ingin tahu di mana dia dimakamkan,” tutur Fatimah.
Selain Fatimah, Sulasti, korban konflik asal Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara, juga mengharapkan hal yang sama. Ia hanya ingin mengetahui keberadaan suaminya setelah hilang pada 2000.
“Suami saya hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Kabar terakhir, ia ditangkap aparat keamanan karena dituduh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” ucap Sulasti.
Sebagian besar korban konflik lainnya juga menyambut gembira pengesahan qanun KKR meskipun tanpa ada KKR Nasional. Sebelumnya, Sekda Provinsi Aceh, Dermawan mengatakan, Pemerintah Aceh pada prinsipnya sependapat dengan Komisi A DPRA, yang telah menyusun dan membahas isi Qanun KKR bersama tim eksekutif.
Namun, Dermawan mewakili Gubernur Aceh berharap KKR merupakan lembaga independen dan adhoc, serta bukan lembaga permanen menurut amanah UUPA. “Sehingga bila anggota DPRA sependapat dengan kami, perlu dipertimbangkan kembali soal keberadaan Sekretariat KKR Aceh,” tutur Sekda.
Artinya, kewenangan KKR Aceh adalah penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlaku UUPA. Namun, pelanggaran HAM setelah berlaku UUPA, 1 Agustus 2006 diselesaikan melalui pengadilan HAM.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teungku Harun menyebutkan, qanun itu secara otomatis telah berlaku, karena hingga saat ini menteri dalam negeri (Mendagri) tidak menyampaikan klarifikasi terhadap qanun tersebut. Waktu klarifikasi berakhir pada 4 April 2014 lalu. Dalam waktu dekat, DPRA juga akan merekrut tim seleksi untuk memilih komisioner KKR Aceh.(Sinar Harapan)