Advertistment

 


NEWS OBSERVASI - Baru saja matahari mengintip, pasar di Aceh langsung sibuk. Puluhan meja berjejeran. Kiri dan kanan meja diikat dua kayu yang menyerupai tiang. Sebatang kayu dibentangkan di atasnya. Belasan kaki sapi yang telah disembelih digantung.

Ratusan orang menunggu, siap membeli daging-daging yang digantung di sana. Mulai dari daging, tulang hingga kulitnya, dijual. Hari itu, pasar penuh dengan daging-daging sapi segar.

Hari itu disebut sebagai hari Makmue Gang. Hampir semua warga Aceh menyebutnya Makmeugang atau hari Meugang. Dalam bahasa Indonesia, 'Makmue' berarti makmur, sedangkan 'Gang' berarti lorong atau gang-gang. 

Dalam sejarahnya, hari tersebut disebut sebagai hari untuk memakmurkan masyarakat di tiap gang atau lorong di desa-desa.

Tradisi Makmue Gang di Aceh telah ada sejak masa kepemimpinan Raja Aceh, Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah atau yang lebih dikenal Po Teumerhom. Po Teumerhom, merupakan Raja Aceh yang terkenal pada sekitar abad 17.

"Sebagai pemimpin, Po Teumerhom saat itu ingin membuat rakyatnya senang dan gembira ketika menyambut bulan suci Ramadan. Sesuai dengan hadis Rasul, "Barangsiapa yang senang akan datangnya bulan suci Ramadan, makan Allah haramkan tubuhnya tersentuh api neraka," kata Budayawan Aceh Yusdedi saat berbincang dengan VIVAnews.

Berdasarkan sabda tersebut Poe Teumerhom merasa bertanggung jawab membuat rakyat senang pada hari itu. "Beliau memerintah perdana menteri untuk membagi-bagikan daging sapi agar jangan ada yang miskin. Anak yatim jangan sampai tidak makan daging pada hari itu. Semua harus gembira menyambut Ramadan," kata Yusdedi.

Po Teumerhom menjadikannya sebagai tradisi. Setiap tahun satu hari sebelum masuknya bulan suci Ramadan, Po Teumerhom selalu melakukan hal tersebut.

Lalu, mengapa Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah memilih daging sapi? Menurut Yusdedi, daging sapi adalah salah satu makanan yang jarang sekali dikonsumsi oleh masyarakat Aceh, karena harganya yang terbilang mahal. 

Mengkonsumsi daging, suatu kenikmatan dan kebanggaan bagi warga Aceh terutama bagi orang-orang miskin.

Menurut Budayawan yang juga Ketua Majalis Adat Aceh Lhokseumawe itu, dulu selain memberikan daging, Po Teumerhom juga membagikan pakaian berupa sarung dan mukena kepada masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan supaya masyarakat merasa senang saat tarawih pertama.

"Tradisi ini menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal ini gubernur, bupati atau wali kota untuk memberikan daging kepada warganya yang tidak mampu membeli daging pada hari tersebut, agar semua senang menyambut puasa," papar Yusdedi.

Wangi daging sapi tercium hampir di setiap rumah. Hari itu, hampir tidak ada warga yang tidak memasak dan menjadikan daging sapi sebagai santapan utama. Jika ada warga yang tidak sanggup membeli, para tetangga dengan setia membagikan masakannya kepada si miskin dan juga anak-anak yatim.

Hingga saat ini, tradisi Makmue Gang terus ada. Namun, akibat seringnya terjadi perbedaan awal Ramadan, pedagang kerap menjual daging sejak dua hari sebelum awal puasa ditentukan dalam Sidang Isbat Kementerian Agamara.
 
Top