Advertistment

 

NEWS OBSERVASI: Malam semakin larut, suasana laut lepas pantai menghembus angin kencang, sehingga perahu yang ditumpangi nelayan terombang-ambing dihempas ombak. Malam itu menjadi kisah yang tak bisa dilupakan oleh nelayan di Langsa.

Kisah miris bak di film layar lebar ini kisah nyata. Ada ratusan manusia dalam perahu bertaburan dalam laut saat melihat ada perahu nelayan mendekat. Sementara perempuan dan anak-anak tetap berada dalam perahu yang kian miring.

Embusan angin kencang dan suara lirih tangisan bayi pecah itu nyaris tak terdengar, terlebih mereka sudah sangat lama mengalami kelaparan dan dehidrasi di tengah laut selama 4 bulan. Mereka telah mengarungi ganasnya lautan untuk menyelamatkan jiwanya dari pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah Junta Militer, Myanmar.

Lautan kala itu bermunculan kepala manusia dewasa yang sedang berenang dan bergantungan di atas pelampung seadanya dari jeriken. Bahkan ada sebagian yang memasukkan balita dalam jeriken agar bisa berenang menuju perahu nelayan.

Suasana panik dan jerit histeris tak dapat dihindari. Semua mereka ingin menggapai perahu nelayan yang sudah mendekat. Wajar saja mereka seperti itu, karena perahu yang memuat 682 orang tersebut nyaris tenggelam. Air laut sebagian sudah masuk dalam perahu yang mesinnya sudah rusak.

"Saat kita temukan perahu yang mereka tumpangi sudah miring dan sudah kemasukan air," kata M Nur Daud, nelayan yang ikut langsung menolong ratusan Rohingya dan Bangladesh ke Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh beberapa waktu lalu kepada merdeka.com.

Kondisi mereka dalam laut semakin memprihatinkan. Hal ini dikarenakan ratusan Rohingya dan warga Bangladesh sudah terendam dan terapung dalam air selama 6 jam.

Bahkan ada sebagian dari mereka sudah lemah hingga harus dilakukan pompa di dada untuk mengeluarkan air dalam mulutnya. Termasuk ada yang didapatkan sudah tidak sadarkan diri.

"Setahu saya, kira-kira mereka itu sudah terendam sejak pukul 16.00 sore hingga berhasil kami selamatkan pukul 22.00 WIB, baru mereka sampai ke darat di Kuala Langsa pukul 06.00 WIB pagi," jelasnya.

Inilah kisah heroik nelayan Aceh menolong etnis Rohingya yang harus melarikan diri dari negara asalnya. Pemerintah Juta Militer, Myanmar telah mendiskriminasikan etnis Rohingya yang mayoritas Muslim.

Mereka harus hengkang dari tanah kelahirannya untuk menyelamatkan jiwanya yang terancam. Mereka hanya segelintir orang dari ribuan lainnya yang mengadu nasib dengan mengarungi lautan Selat Malaka yang ganas.

Penderitaan yang dialaminya tidak hanya selama berada di negaranya. Hingga berada dalam perahu hendak mencari tempat mengungsi pun masih mengalami penderitaan yang pahit. Mereka harus bertarung dengan ganasnya lautan hingga menjadi korban penjualan manusia.

Kisah Hasan Ali misalnya, saat itu, nakhoda lari dengan cara dijemput oleh sebuah perahu kecil. Sedangkan kondisi mesin perahu yang ditumpangi ratusan etnis Rohingya rusak parah.

Akibatnya, berbulan-bulan mereka terapung-apung di tengah-tengah arus deras laut tanpa arah. Stok makanan dan air minum kian menipis hingga habis. Akibatnya mereka mengalami kelaparan. Yang lebih parah mereka mengalami dehidrasi.

"Selama 4 bulan di laut, kami hanya makan sedikit-sedikit untuk menjaga stok, bahkan pernah kami makan 4 hari sekali untuk menghemat," terang Hasan Ali.

Kisah pilu kekejaman Junta Militer, Myanmar juga dikisahkan oleh Khairul Amin (18), pengungsi Rohingya yang berada di desa Bayeun, Kecamatan Ranto Selamat, Aceh Timur. Bila hendak berjalan dia harus menggunakan Walking Stick (alat bantu berjalan) berkaki empat, karena mengalami atrofi otot.

Penyakit Khairul Amin ini terjadi karena gangguan medis dikarenakan urat saraf kaki tidak pernah digerakkan dalam jangka waktu lama. Urat sarafnya sudah tidak berfungsi, sehingga gerakan yang diperintahkan dari otak tidak sesuai dengan gerakan kaki.

Atrofi otot yang dialami Khairul Amin selama di perahu harus duduk jongkok selama 3 bulan lebih. Bila dia bangun, langsung dipukul oleh agen yang membawa dia melarikan diri dari negaranya. Bahkan kerap juga dia mendapatkan pukulan dengan pentungan di kepalanya kalau hendak bangun.

"Sekitar 4 bulan saya duduk jongkok, kalau bangun pun sebentar, lalu saya dipukul di kepala, di suruh duduk jongkok," kata Khairul Amin. (merdeka)
 
Top