Advertistment

 

Tak perduli berapa kali sudah aku menyampaikan pada panitia zakat fitrah gampong, bahwa aku merasa tidak layak menjadi penerima zakat, tapi tetap saja setiap hari raya, rumahku didatangi panita zakat. Sekarung beras, sepotong dua kain sarung, dan seamplop uang.

Dan setiap tahun aku akhirnya meneruskan zakat itu kepada orang lain yang membutuhkan. Sudah 3 tahun ini kepada Nek Mah. Tinggal belakang membelakangi dinding dengan anak kandungnya tidak membuat hidup jadi lebih baik. Pintu penghubung ditembok itu sudah bertahun-tahun tidak pernah terbuka. Sudah jadi rahasia umum. Seperti juga rahasia umum mengapa Nek Mah tidak masuk dalam daftar penerima zakat. Padahal hidupnya susah, apalagi sejak pensiun suaminya tidak bisa dicairkan lagi. Ada masalah surat-surat dan soal dirinya adalah istri kedua.
Anaknya mengamuk mendatangi kantor keuchik. Menganggap pemberian zakat pada ibunya adalah penghinaan bagi keluarga mereka. Cerita yang kudengar dengan parang ditangan dia mengancam dan siap membuat masalah. Memang anaknya sekarang sudah kaya. Dulu seingatku hidupnya susah, sekarang sejak jadi kontraktor, sudah mewah. Sayangnya setelah marah, selalu lupa dengan nafkah ibunya. Hanya kadang-kadang aku lihat pembantunya mengantarkan makanan. Aku bersyukur, dapurku lebih dari cukup untuk selalu mengajaknya makan bersama. Hanya kalau anaknya datang pintu penghubung dikuncinya. Dan aku tahu itu untuk menghindarkanku dari masalah.

Rumahku dan Nek Mah, dulunya satu rumah, lalu dibagi dua dengan dinding, tersambung pintu ditengahnya. Selepas tsunami, setelah keluargaku berpulang semua, pembagian harta keluarga menjadikan satu bagian sebagai milikku. Warisan atas nama ibu. Nek Mah itu istri kedua kakekku.

Aku bukan orang kaya. Tapi aku bisa menghidupi diriku dan anakku. Berjualan kue, memang bukan pekerjaan yang kuimpikan, tapi hobi yang sekarang menjadi sumber nafkah itu adalah satu-satunya pekerjaan yang kupunya. Dan dengan berhemat, aku bisa menabung.

Seperti sekarang aku bisa membeli laptop dari mahasiswi hukum yang kost di depan. Laptop ini kecil sekali. Bukan seperti laptop-laptop yang sering kulihat. Bentuknya pun tebal. Berat, tapi aku suka. Karena aku bisa menulis lagi.

Impian yang sejak lama kusimpan. Dulu aku bercita-cita kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Awalnya aku lihat kesempatn itu terbuka lebar, karena ayah menjanjikan meskipun aku menikah, beliau akan membiayai kuliah dan kalau perlu rumah tangga kami. Suamiku juga anak bungsu dari kawan berdagang ayah. Tapi tsunami mem

buat arah hidupku berubah. 

Tapi aku tidak membuang mimpi itu, aku tetap berharap satu waktu aku bisa menulis novel. Aku ingin seperti Emily Dickinson, Enid Blyton, J.K Rowling, Mary Higgins Clark, Dewi Lestari, N.H Dini, dan banyak penulis perempuan lainnya.

Tapi saat ini mimpiku itu kusimpan dulu, aku selipkan disela-sela impian besar lainnya. Impian seorang ibu untuk anaknya.

Aku tidak mengarapkan putraku hidup berkesusahan seperti ibunya sekarang. Setiap rupiah yang bisa kusisihkan kusimpan untuk dua tabungan besar. Satu tabungan untuk sekolahnya. Satu lagi berupa emas. Aku ingin mengumpulkan sebanyak mungkin biaya untuk sekolah putraku dari SD sampai dia kuliah nanti. Aku juga tak ingin hanya karena kami kurang berada, nanti putraku dimasa depan nanti sulit meminang gadis shalihah yang akan menjadi tambatan hatinya. Jadi kusiapkan mahar untuk membantunya kelak. Bersiap untuk kemungkinan terburuk. Mungkin nanti ibunya ini tidak sempat menyaksikan pernikahannya. 

Aku tidak memanjakannya. Karena aku ingin ia menjadi tulang punggung dan imam keluarga. Tapi aku juga tidak ingin memberatkan hidupnya. Aku masih bingung menyerap segala macam ilmu parenting yang kubaca dari buku-buku atau dari pelatihan yang kadang bisa kuikuti. Tapi sambil mempelajari semuanya, aku ingin melakukan apa yang kubisa. Sebisaku, semampuku.(Sumber
 
Top