Advertistment

 


Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) XXXI yang dilaksanakan di Kota Subussalam resmi ditutup pada minggu malam tanggal 30 Juni 2013. Aceh besar berhasil meraih predikat sebagai juara Umum, dan kini sudah tiba saatnya kafilah tanah rencong mempersiapkan diri untuk Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional mendatang.

Menelan pil pahit pada MTQ Tahun lalu di Ambon adalah hal yang tidak elok jika persoalan ini berlalu begitu saja tanpa disertai catatan reflektif, sebagai bahan evaluasi para pengurus Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) di Aceh. Lebih tak elok lagi, jika saat disahuti dengan sebatas harap maklum.

Sebab bagi Penulis potensi Generasi Aceh tak dapat diremehkan. Bukankah provinsi ini dibangun di atas dalil Syari’at islam yang berkualitas? Menurut saya, persoalan kalah di Ambon tahun lalu tidak boleh ditangkap dalam makna sederhana, sebatas asumsi kalah ataupun menang. Sebab dari awal ada sejumlah persoalan krusial yang menjadi bagian dari proses menuju nasib malang itu.

Persoalan itu antara lain: Pertama, dari proses rekrutmen, kesadaran kita masih dibalut oleh ambisi besar meraih juara. Sehingga dengan cara apapun serta bagaimanapun tetap saja dilakukan. Pola rekrutmen peserta yang hanya mengandalkan data administratif telah terbukti menjadi biang utama ambruknya fondasi kaderisasi pembinaan al-Quran di tanah Serambi Mekkah.

Pola ini sungguh-sungguh lemah. Sebab peserta yang bukan asal Aceh sekalipun bisa dengan mudahnya memiliki akta kelahiran, kartu keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan beragam data lainnya. Meski sesungguhnya telah terang benderang, mereka hanyalah peserta yang sengaja dirental pada setiap kompetisi ini digelar.

Apa dampak yang kita peroleh hari ini menjadi pelajaran berharga bahwa sistem ini mesti diubah seradikal mungkin. Tidak boleh menjadi kebiasaan yang dibenarkan, jika kita masih memegang prinsip idealisme dan integritas melakukan pembinaan pada Generasi Aceh.
Kedua, selama ini porsi anggaran pelaksanaan MTQ masih menjadi momok yang mencengangkan. Singkatnya masih lebih banyak biaya yang digelontorkan hanya untuk membiayai tim penggembira dari pada menyuguhkannya untuk proses pembinaan berkelanjutan. Dapat dibayangkan, ketika sejumlah aparat di Aceh ini diberangkatkan.

Urusan kostum Official, biaya perjalanan, dan berbagai kelengkapan lainnya masih lebih kuat daya serapnya dari pada menyiapkan porsi untuk pembinaan jauh-jauh hari sebelum digelar. Sehingga, sekalipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar, tetap saja tak akan membawa progres yang lebih baik.

Ketiga, selain persoalan kaderisasi yang berlangsung secara tidak sehat, terdapat juga masalah yang melingkupi proses rekrutmen dewan hakim. Sejauh ini, kita belum memahami secara utuh bagaimana sesungguhnya standar kompetensi yang mesti disandang oleh para dewan hakim itu. Tidaklah elegan jika mereka direkrut hanya karena memiliki basis sebagai seorang muballigh/tokoh agama saja. Tidak pula menarik jika berdasar pada kuota antar kabupaten. Lebih menyakitkan lagi, jika perekrutannya hanya didasarkan pada standar like or dislike.

Keempat, fakta ini seharusnya membangunkan pihak LPTQ bahwa selama ini banyak hal yang terlewatkan tanpa evaluasi secara lebih tajam. Kiranya layak untuk menyatakan bahwa LPTQ di Aceh ini belum bekerja sebagai mana mestinya. Sejauh ini, kemeriahan MTQ tingkat provinsi belum berbanding lurus dengan tingkat keseriusan melakuklan kaderisasi jangka panjang. Artinya, pola instan menggelar MTQ lebih dominan dari pada hasrat mencetak kader lebih banyak.

Di atas semua itu, subtansi persoalan ini pada dasarnya mengajak semua pihak untuk berpikir bening agar pembinaan Al-Quran ini tidak dicampuri oleh kepentingan jangka pendek. Tidak juga sebatas pertimbangan normatif. Karena pada dasarnya agenda besar dari sebuah perehelatan MTQ agar bangsa ini tetap dijaga oleh Al- Quran. Bukan yang tertulis, melainkan para penganut yang meyakini bahwa al- Quran itu wahyu Allah, tak ada keraguan di dalamnya.

Jika demikian keyakinan itu dihunjamkan, maka jangan lagi ada kesengajaan memanipulasi fakta. Gelaran MTQ di Subussalam memang telah berlalu. Tapi yang lebih penting menurutPenulis, Aceh  ini membutuhkan manusia bertabiat tulus. Termasuk tulus menjalankan MTQ, tulus membina Qari-Qariah, serta tulus untuk tidak sekedar juara.

Jika penulis  mengkritik LPTQ Aceh, maka itu bukanlah kritikan ahistoris, tanpa bukti, dan tanpa argumentasi rasional. Kedua, tulisan ini merupakan bagian dari perspektif Penulis terhadap beberapa perdebatan alot baik dalam bentuk dialog face to face, forum ilmiah, maupun di jejaring sosial facebook. Di Facebook sangat tampak perdebatan tersebut, dan amat terlihat betapa emosionalitas telah membuncah mewarnai keresahan MTQ tahun ini. Ada yang mencela habis-habisan, dengan mengatakan bahwa LPTQ hanya tahu menguras uang rakyat, ada pula yang berperan sebagai benteng atau pembela LPTQ, dan yang terakhir mencoba memandang secara lebih futuristik, dengan ajakan mengambil hikmah di balik peristiwa MTQ, sebagai tanda-tanda munculnya Dajjal. Ketiga, saya ingin mengatakan bahwa durasi 2012 hingga 2013 adalah waktu yang cukup panjang, dan sama sekali tak punya makna yang berarti di tubuh LPTQ Aceh.

Sampai di sini, agaknya istilah ketok magic lebih relevan untuk digunakan sebagai perenungan alternatif setelah sekian lama kita memoles praktik-praktik kepalsuan pada setiap momen MTQ. Ketok magic merupakan salah satu jenis layanan jasa bagi setiap kendaraan yang body-nya telah ambruk, atau mengolah ulang barang rongsokan menjadi mulus kembali. Lalu bagaimana kita memahami ketok magic LPTQ Aceh?

Pada tulisan ini, Penulis ingin menawarkan (3) tiga setting agenda untuk kinerja masa depan di tubuh LPTQ  Aceh sebagai tahapan Ketok Magic, agar tampak mulus luar-dalam.

Pertama, perlu diluruskan kembali Mind set yang digulirkan di lembaga ini. Lembaga sebesar LPTQ, bagi saya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan kesuksesan dalam menggelar acara MTQ, namun yang lebih penting adalah bagaimana upaya yang sungguh-sungguh dalam mencetak dan menciptakan talenta lokal. LPTQ seyogyanya berorientasi pada proses pengembangan bakat generasi, bukan bekerja secara instan dengan hanya mencomot peserta dari berbagai tempat.

Dari perbincangan yang alot dengan para petinggi LPTQ di Aceh beberapa waktu lalu, baik dari unsur pemerintah maupun kalangan “elit agama”, penulis  menemukan sebuah lingkaran sesat pikir dan mendominasi kebijakan internal lebih lanjut. Di antaranya, bahwa persoalan mendatangkan peserta dari luar tidak diatur dalam dalil Naqli, baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, atau lebih simpelnya, tidak ada aturan syariat yang mengikatnya. Ini berarti bahwa kita sedang mencoba merontokkan nilai universalitas al-Quran sebagai firman Allah. Bagi Penulis, adalah sesuatu yang terlalu rendah dan primitif jika Allah harus berfirman atau Nabi SAW harus bersabda, hanya untuk urusan sah tidaknya kehadiran peserta rental di arena MTQ. Dengan segala maaf, penulis ingin mengatakan bahwa jawaban tersebut amatlah menyesatkan, sekaligus mencoba lari dari tanggung dengan bersandar pada otoritas Ilahiyah.

Alasan lain yang berkembang, bahwa dengan tidak dimasukkannya aset lokal sebagai bagian dari tim andalan, karena mereka tidak mampu mencapai garis penilaian rata-rata. Lagi-lagi, kita harus jeli melihat jawaban ini. Bukankah yang bertanggung jawab dalam proses pembimbingan dan pengembangan ada di pundak LPTQ? Bukankah LPTQ dibentuk oleh pemerintah sebagai bagian dari kebijakan dalam pembinaan Tilawatil Qur’an? Lalu apa arti juara pada tingkat Provinsi, jika kemudian harus dianulir sebagai peserta yang tidak kompetitif? Sekali lagi, ini merupakan jawaban yang juga mencoba melarikan diri dari tanggung jawab. Karena itu, jika kedua jenis Mind set ini tidak di-ketok magic sejak dini, maka selamanya kita tidak akan menggelar MTQ dengan kemandirian, bermartabat dan penuh harga diri. Kita akan terus tenggelam jauh dalam kubangan kepalsuan, kesemuan, dan manipulasi antar sesama Masyarakat Aceh. Pada saat yang sama, kita sedang memeragakan sebuah bentuk kekerasan psikologis terhadap sekian banyak generasi dengan meminggirkan eksistensi mereka. Kadang kita terlalu ikhlas menggelontorkan dana untuk aset luar, namun teramat “kikir” bersedekah untuk generasi sekampung halaman.

Kedua, Secara kelembagaan, agaknya LPTQ perlu merombak sistem kelembagaannya. Sistem perekrutan pengurus sebaiknya tidak didasarkan pada faktor kedekatan, eselon, aktivitas pasca pensiun, apalagi rasa belas kasih. Tegasnya, LPTQ hendaknya lepas dari bayang-bayang power syndrome (Penyakit kekuasaan). Karena LPTQ bukan ajang adu gengsi, namun arena profesionalisme dan kompetisi.

Ke depan kita butuhkan sejumlah pihak yang benar-benar memiliki ruang dan waktu untuk memikirkan tata kelola LPTQ secara maksimal, bukan sebatas aktivitas sampingan. Dengan mengedepankan profesionlaisme dan semangat kompetisi, maka akan muncul seleksi alamiah yang mensyaratkan bahwa hanya orang-orang yang kredibel dan kapabel sajalah yang akan mampu bertahan dan bertarung di LPTQ. Selebihnya, bagi yang menganggap LPTQ sebagai tempat teduh mengais rezeki, memelas kasih dan tidak memperjuangkan masa depan talenta lokal, mereka akan akan terjungkal dan terekam dalam lintasan sejarah sebagai pihak yang pernah menjebloskan LPTQ dalam pencitraan yang buruk dan pesimis di mata publik.

Ketiga, persoalan pengembangan bakat di bidang tilawah dan berbagai jenis yang dilombakan dalam setiap perhelatan MTQ, perlu mendapat porsi anggaran yang cukup. LPTQ tidak boleh hanya diberi porsi anggaran Musabaqah saja, namun yang lebih penting diberikan suntikan dana yang memadai, dan dikhususkan untuk pengembangan bakat tilawah dari aset lokal. Saya pernah mendapat keluhan dari salah seorang pejabat teras LPTQ, bahwa kendala yang terjadi selama ini, karena porsi anggaran LPTQ habis dikuras untuk sekali event MTQ.

Jika ketiga agenda setting di atas diterapkan dalam kelembagaan LPTQ, maka besar harapan kita, bahwa masa depan LPTQ tidak hanya berjasa dalam mengharumkan nama daerah, namun yang lebih peting, karena LPTQ telah memobolisasi sekian banyak pihak untuk beranjak dari praktik membenarkan kebiasaan menuju membiasakan kebenaran.

Penulis: Ody Yunanda
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Malikussalah, Bidang Dokumentasi Komite Mahasiswa dan Pelajar Kutamakmur serta Pengurus Lembaga Penegembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Cempeudak – Kutamakmur.
 
Top