Aceh dulunya adalah sebuah negara yang bestatus merdeka, modus
kemerdekaan hanyalah efektif belaka, realita dan fakta tersebut
hanya dengan sebuah perkataan bukan dengan tulisan, Namun kenyataan tersebut
masih dapat dibuktikan oleh Negara Kecir Angin seberang lautan, yang mana
negara itu telah meninggalkan kenangan yang amat perih yang dirasakan oleh
endatu moyang Bangsa Indonesia dan khususnya Bangsa Aceh yang tidak bisa
melupakan serta menghilangkan sejarah begitu saja, Pemuda Aceh selalu aktif
demi Agama, Bangsa, dan Negara. Sungguh sangat disayangkan Aceh masih
dinyatakan sebagai Negara NKRI yang demokrasi katanya. Aceh sangat
mengaharapkan keadilan dan kemakmuran rakyat, ternyata hal tersebut sangat jauh
menyimpang dengan perjanjian lama yang telah dinyatakan oleh Tgk.Daud Bereuh
dengan Bangsa Indonesia, hal tersebut lah Aceh telah menjadi senjata makan tuan
sobatku Aneuk Nanggroe .
Hal inilah yang menjadikan visi dan misi utama bangsa Aceh
untuk melakukan pergerakan yang diawali dengan lahirnya sebuah
gagasan lama oleh paduan sejarah yang berdarah, gagasan pertama dilakukan oleh
Almarhum Daud Bereuh, masa terus berlanjut perjuangan pun mengikuti
lanjutannya, episode pastikan bertambah tanpa mengenal lelah dan sampai jumpa,
kata-kata damai hanyalah darah yang bertumpah tanpa henti dan tidak
dihargai lagi oleh Bangsa sendiri yaitu Indonesia, Aceh bernaung di bawah NKRI
sejak tahun 1945 dengan sebutan Negara yang berdaulat dan merdeka, namun sayang
dan memilukan Anak cucu cicit Bangsa Aceh malah menerima Negara yang
bertaktik dan politik yang sangat berpihak pada Ketuprak humor wong Jawa,
kisah demi Al-kisah bila dikenang dan diceritakan tak akan cukup untuk mengiisi
isi tinta terhadap gambaran perjuangan Bangsa Aceh.
Saat itulah, Kemitraan Aceh telah hilang, jati diri telah pudar,
warna hitam telah menghilangkan keaslian, yang asli sudah dipalsukan, pemalsuan
sudah menjadi kepahaman yang melengkung, arah sudah salah mengatur, aturan tak
henti dapat disalahkan, kesalahan timbul dari pemimpin Bangsa, rakyat jelata
menjadi korban, jiwa dan raga menjadi batu hantaman, kanak-kanak Bangsa rencong
dipusnahkan, pemusnahan dilakukan tak henti-hentinya. Pendidikan patut
disalahkan, pendidikan tak mengajak Aneuk Bangsa Rencong kearah yang benar,
pendidikan ketauhidan dan ketuhanan pelan-pelan dimusnahkan, pendidikan tak
dapat membangun kearah persatuan.
Acehmerupakan Bangsa yang nekat, kuat daya tahan, suka
berperang, suka melakukan perlawanan dalam membasmi kedhaliman, Aceh ibarat
semut merah, Satu ditindas ratusan akan muncul, merah selalu mengalir dalam
benak jiwa raga anak Rencong, perlawanan sampai titk darah penghabisan bukan
sampai titik mendapat uang. suku Aceh tidak ada persamaan sedikitpun dengan
moyang ketuprak humor wong jawa, wong jawa jangan hanya menganggap spelei
perkara Aceh, Aceh tak pantang ditindas, penindasan wong jawa sudah membabi
buta, penyiksaan yang dilakukan terhadap Bangsa Aceh. Aceh-Jawa tak akan mudah
bersatu, satu kesatuan telah menjadi kepaksaan bagi kebanyakan orang Aceh untuk
tunduk patuh pada perintah terhadap Jakarta yang diawali oleh pimpinan Soekarna
dan Hatta. Sang Mr. Aceh tidak pernah menerima kepaksaan yang terpaksa untuk
menjadi satu kesatuan yang tak pernah menyatu.
30 tahun lebih Aceh ditindas, Namun 15 Agustus 2005 Helsinki
– firlandia menjadikan Aceh – Indonesia Damai. Perdamaian tersebut melahirkan
Qanun dan rancangan Qanun (Raqan) yang saling menguntungkan bagi Aceh dan
indonesia. Saat itu Uni eropa memeberikan kesempatan kepada Aceh untuk
membentuk partai politik local dengan tujuan tidak mempengaruhi Perdamaian.
Partai Aceh (PA) segera dilahirkan oleh kelompok yang dulunya menjadi pejuang
dalam rimba serta mengusung Irwandi yusuf – Muhammad nazar sebagai Gubennur dan
wakil gubennur Aceh yang dianggap bisa mealhirkan Rancanan Qanun menjadi Qanun
yang sah di Bumi Serambi mekkah.
5 tahun Irwandi – Muhammad nazar menjadi raja, namun kinerjanya
dianggap ditak sesuai dengan Harapan sehingga Partai ini mengusung dr H. Zaini Abdullah dan muzakkir manaf yang
dianggap mampu untuk kinerjanya 5 tahun kedepan.
Setelah memenangkan Pilkada Aceh tahun 2012, pasangan ini langsung
menunjukkan kiprah untuk disahkannya Raqan Bendera dan Lambang Aceh menjadi
Qanun. Akhirnya, 22 maret 2013 DPR Aceh memutuskan bahwa Bintang buleun dan
buraq singa Sah menjadi Bendera dan lambang Aceh yang dituankan dalam Qanun No
3.
Tetapi sangat disayangkan, keputusan itu dianggap tidak netral
oleh beberapa pihak yang telah melupakan perjuangan, kelompok yang menamakan
dirinya Gayo mardeka menolak keras keputusan itu, sehingga Menteri dalam negeri
serta Presiden RI terpaksa turun tangan. Mendagri sendiri sempat menyisihkan
waktu berkunjung ke Aceh hanya untuk menyelesaikan masalah yang sebagian orang
mengaggap hal yang kecil.
Bapak H.Susilo Bambang yudhoyono sendiri mengancam akan
membatalkan Qanun tersebut. Sungguh tragis, Perbudakan Aceh telah merajai oleh
pemimpin - pemimpin bangsa yang tak tau terimakasih.
Kini, Aceh akan mengulai sejarah masa silam, beberapa dari
pendukung perjuangan pernah mengancam Referendum. Apakah Aceh Akan kembali pada
penindasan lagi ?
Penulis: Ody Yunanda
Wartawan Media Lokal Aceh