NewsObservasi - Semasa
remaja, Taufiq Kiemas membentuk geng yang beraktivitas seputar pesta dan
hura-hura.
Meski demikian, pidato Bung Karno pada 19 Agustus 1960 membuatnya
mulai tertarik kepada politik. Belakangan sang ayah yang berhaluan Masyumi
sedih atas pilihan Kiemas. Mengapa?
PADA
1950, pemerintah Kerajaan Belanda resmi mengakui kedaulatan RI. Saat itu Tjik
Agus Kiemas, ayah Taufiq Kiemas, memboyong keluarganya dari Jogjakarta ke
Jakarta. Di ibu kota Kiemas menamatkan sekolah dasar dan melanjutkan ke SMP
negeri. Tapi, ketika naik kelas II, awal 1957, Kiemas dikirim ke SMP Mardiyuana
di Kota Sukabumi, Jawa Barat.
’’Kami
benar-benar di ajar disiplin. Ketahuan melanggar sedikit saja pasti kena
hukuman,’’ kata Kiemas dalam buku Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam : 70
Tahun Taufiq Kiemas. Buku itu hadiah istimewa Kiemas untuk ultah ke-70 pada
Senin lalu 31 Desember 2012.
Tapi,
Kiemas hanya setahun bersekolah di SMP Mardiyuana Kota Sukabumi . Pada awal
1957, dia diminta ayahnya agar menyusul keluarga yang bermukim dan bersekolah
SMP di Palembang.
Tamat
SMP, Kiemas melanjutkan ke SMAN 2 Palembang, kemudian pindah ke SMAN Tanjung
Enim. Pada masa remaja, Kiemas mengaku belum begitu tertarik mengikuti dunia
politik. Dia lebih tertarik mengikuti tren membentuk geng remaja.
Bersama
sejumlah kawannya, Kiemas membentuk dan bergiat di geng yang diberi nama Don
Quisotte. Nama Don Quisotte terinsipirasi dari novel tenar asal Spanyol
berjudul The Ingenious Gentleman Don Quixote of La Mancha yang terbit pada awal
abad ke-16.
Novel
itu bercerita tentang seorang kakek miskin dari Spanyol Alonzo Quixano yang
berangan-angan menjadi seorang kesatria.
Imajinasi yang menguasai alam bawah
sadarnya mencapai puncak saat Alonzo Quixano memberikan gelar Don (gelar
kehormatan ala Spanyol) kepada diri sendiri menjadi Don Quisotte.
Pada
pertengahan 1960, Kiemas mulai tertarik kepada dunia politik. Momentum itu
terjadi pada 19 Agustus 1960. Kiemas yang baru saja pulang habis salat Jumat
mendengarkan pidato Bung Karno mengenai Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PPRI) yang disiarkan langsung dari Istana Negara di Jakarta melalui
radio transistor.
Dalam
pidato itu, Bung Karno sebagai presiden juga menyatakan secara resmi pembubaran
dan pelarangan dua partai, yakni Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI).
’’Aku terkesima. Dalam hati aku, hebat benar Presiden
Soekarno, membubarkan parpol langsung di depan pemimpin partai tersebut. Apa
yang terjadi siang itu sangat membekas dalam diri aku. Sejak itulah, aku mulai
mengagumi Bung Karno,’’ kisahnya.
Seiring
berjalannya waktu, meskipun berasal dari keluarga Masyumi, Kiemas tumbuh
menjadi seorang Soekarnois. Tapi, selama di rumah semua itu hanya disimpan
Kiemas di dalam hati. Pilihan sikap itu baru terkuak setelah Kiemas menjadi
mahasiswa hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, pada 1962.
Saat itu Kiemas
bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Para anggota
Don Quisotte yang lain pun mengikuti jejak Kiemas. Padahal, hampir semua latar
belakang keluarga mereka adalah Masyumi atau organisasi keislaman lainnya.
Ayah
Kiemas sendiri sangat kaget dan sedih sampai menitikkan air mata saat mengetahui
Kiemas bergabung dengan GMNI. Apalagi, Tjik Agus memiliki sejarah dekat dengan
Masyumi yang dibubarkan Bung Karno.
Saat
baru menikah pada 1941, Tjik Agus bekerja sebagai sekretaris umum di Persatuan
Waroeng Bangsa Indonesia (Perwabi), sebuah ormas di bawah Masyumi. Sempat
terjadi diskusi alot antara ayah dan anak. Tapi, Kiemas bersikukuh dengan
pilihannya. Akhirnya, Tjik Agus memahami pilihan politik putranya itu.