Advertistment

 

OBSERVASI _Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Paripurna Gabungan DPR dan DPD menyambut hari ulang tahun ke-68 kemerdekaan Republik Indonesia, Jumat 16 Agustus 2013, dinilai menyerupai cerita fiksi yang berbau ilmiah.

"Seperti pidato SBY lainnya, pidato kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu," kecam anggota DPR asal Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka kepada Kompas, Sabtu 17 Agustus 2013 pagi. Terutama, sebut dia, "bumbu" berupa istilah dan teori berbahasa Inggris.

Kesannya, kata Rieke, pidato tersebut ilmiah karena disertai dengan angka-angka yang seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah angka-angka itu berbasis pada data dan realitas sesungguhnya? Atau sekadar fiksi belaka untuk pembungkus pencitraan?" ujar Rieke Diah Pitaloka, Sabtu pagi. 

Padahal, tambah mantan calon gubernur Jawa Barat pada pilkada terakhir Jabar ini, masyarakat sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang sesungguhnya terjadi. Rieke mengambil contoh soal peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB).

PDB tak menggambarkan realita
Bila dilihat angka-angkanya saja, kata Rieke, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, jika PDB itu mengukur produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, siapa yang menikmati besarnya PDB itu?" tanya dia.

Namun, kata Rieke, ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, dia mengambil Provinsi Papua. Provinsi ini, ujar Rieke, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula," tegas dia.

Karenanya, Rieke mengatakan, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.

"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" tanya Rieke. Dengan data penghasilan tersebut, imbuh dia, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.

Data BPS di atas, lanjut Rieke, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," ujar dia dengan lantang. (Kompas)
 
Top