"Seperti pidato
SBY lainnya, pidato kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu,"
kecam anggota DPR asal Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka kepada
Kompas, Sabtu 17 Agustus 2013 pagi. Terutama, sebut dia, "bumbu" berupa
istilah dan teori berbahasa Inggris.
Kesannya, kata
Rieke, pidato tersebut ilmiah karena disertai dengan angka-angka yang
seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah
angka-angka itu berbasis pada data dan realitas sesungguhnya? Atau
sekadar fiksi belaka untuk pembungkus pencitraan?" ujar Rieke Diah
Pitaloka, Sabtu pagi.
Padahal, tambah
mantan calon gubernur Jawa Barat pada pilkada terakhir Jabar ini,
masyarakat sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang sesungguhnya
terjadi. Rieke mengambil contoh soal peningkatan pendapatan domestik
bruto (PDB).
PDB tak menggambarkan realita
Bila dilihat
angka-angkanya saja, kata Rieke, memang PDB terus meningkat. Pada 2004,
PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS,
berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014
mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, jika PDB itu mengukur produk
barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, siapa yang menikmati
besarnya PDB itu?" tanya dia.
Namun, kata
Rieke, ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat
Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi.
Sebagai contoh, dia mengambil Provinsi Papua. Provinsi ini, ujar Rieke,
memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka
kemiskinannya tertinggi pula," tegas dia.
Karenanya,
Rieke mengatakan, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti
pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta
per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan
masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan
hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1
juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah
Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.
"Kesejahteraan
apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru
daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" tanya Rieke. Dengan data
penghasilan tersebut, imbuh dia, dapat terbayangkan pula bagaimana
penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga
bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.
Data BPS di
atas, lanjut Rieke, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga
BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini?
Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin
terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di
pelosok-pelosok," ujar dia dengan lantang. (Kompas)