Samsul B Ibrahim Ketua Gerakan Pemuda Ansor Aceh (Sumber: Google) |
OBSERVASI - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tak pandai membalas kebaikan
masyarakat Aceh yang sudah memilihnya pada Pemilu Presiden 2009 lalu. Buktinya
hingga saat ini, Pemerintah Pusat masih masih menunda-nunda pengesahan sejumlah
regulasi yang berhubungan dengan upaya percepatan pembangunan Aceh.
"RPP Migas belum disahkan. Keberadaan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terjadi tolak-tarik. Begitu juga masalah
bendera dan lambang Aceh dibiarkan begitu saja. SBY nggak mau ambil sikap. Ini
kan jelas bentuk tidak tahu balas budi," jelas Ketua Gerakan Pemuda Ansor
Aceh, Samsul B Ibrahim, Minggu (4/8/2013).
SBY sambung Samsul memang dikenal sebagai
sosok presiden yang tak berani membuat kebijakan cepat. Hanya saja, persoalan
pemenuhan hak-hak Aceh sebagai daerah otonomi terkesan diulur-ulur dengan
sengaja. Padahal perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
Pemerintah Pusat sudah dilakukan sejak 2005. Selama delapan tahun itu, Samsul
melihat SBY belum melakukan apapun untuk Aceh.
Ironisnya, minimnya respon SBY sebagai sosok
presiden pilihan warga Aceh pada 2009 kemarin justru menciptakan friksi-friksi
social di tengah-tengah masyarakat. Ketiadaan RPP Migas merupakan masalah dasar
yang menyebabkan mandeknya upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal
diyakininya, kontribusi Migas dalam upaya percepatan pembangunan sangat
strategis.
Dalam
kasus lambang dan bendera Aceh, fenomena yang sama juga ditunjukkan SBY sebut
Samsul. Secara tidak langsung, SBY mempraktekkan faham 'divide at impera'
sehingga masyarakat Aceh terpecah dalam dua kubu. "Ada kubu pendukung
bendera dan ada pula kubu penentang. Nah, SBY diam aja dia. Harusnya sadar donk
kita di Aceh ini udah berdarah-darah gara-gara bendera. Ya dia kan presidennya.
Kalau tolak, ya bilang ditolak. Kalau dukung, ya sahkan aja," pinta Samsul
tegas.
Sumber: Google |
Selain mengecam perilaku SBY yang dinilai tak
tahu berbalas budi terhadap kebaikan masyarakat Aceh, GP Ansor sebut Samsul
juga menyesali keberadaan representasi Aceh baik yang berada di DPR RI maupun
di DPD RI. Pihaknya menilai, Anggota DPR RI dan DPD RI yang dipilih melalui
Pemilu 2009 lalu tak mampu menyokong agenda-agenda pembangunan yang disuarakan
oleh Pemerintah Aceh di Jakarta. Anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh tak
memiliki nilai tawar dihadapan presiden.
Harusnya, anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh
bisa menekan Presiden SBY untuk membuat kebijakan yang tepat dan merakyat.
"Jangan cuma jual muka di media massa. Harus jelas donk prestasinya untuk
masyarakat Aceh. Kalau memang tak punya prestasi, kami minta masyarakat tak
lagi memilih mereka dalam Pemilu 2014 ini. Biar aja mereka jadi
pengangguran," ungkap Samsul kecewa.
Di lain hal, Samsul menilai Anggota DPR RI
asal Aceh yang menaungi Partai Demokrat mestinya bisa mengambil peran yang
lebih besar. Mereka harusnya bisa memperjuangkan Aceh baik di internal Demokrat
sendiri, di meja legislasi dan anggaran, hingga di meja Presiden SBY sendiri
sebagai kepala negara. "Ini mungkin memang dosa kita karena memilih
Demokrat dan SBY yang plin-plan setiap tahun. Nasib Aceh memang selalu
dibohongi," tukas Samsul menutup pembicaraan.
Sumber: thegloblejournal