Advertistment

 

Galuh Wandita, Direktur AJAR,
Asia Justice and Rights (AJAR) memberikan apresiasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait pembahasan Rancangan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk menjadi sebuah Qanun Aceh.

Melalui surat elektronik AJAR kepada acehterkini, Galuh Wandita selaku Direktur AJAR menyampaikan apresiasi positif kepada anggota dewan di Aceh. “Patut ditanggapi secara positif, karena pembentukan KKR Aceh dimandatkan dalam MoU Helsinki,” kata Galuh.

Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memasukkan implementasi dari berbagai ketetapan yang disepakati dalam MoU Helsinki, walauUUPA berbeda dengan MoU Helsinki dalam beberapa aspek.

Dalam UUPA, walaupun terdapat kerangka hukum untuk pembentukan Pengadilan HAM, kewenangan pengadilan dibatasi hanya untuk mengadili kejahatan yang dilakukan setelah MoU ditandatangani.

Lebih jauh lagi, UUPA menyatakan bahwa KKR Aceh merupakan “bagian tak terpisahkan” dari KKR Nasional,” kata Galuh Wandita, Selasa (10/09/2013).

Konteks KKR Aceh, ia mengambil contoh dengan melihat pengalaman berbagai negara, misalnya di Medelin (Colombia) dan wilayah otonomi khusus Kurdistan (Iraq); pemerintah daerah bisa saja membuat inisiatif untuk mengakui pelanggaran HAM masa lalu dan memulihkan korban.

Di tingkat nasional, lembaga seperti Komnas HAM bisa juga mempunyai hubungan khusus dengan KKR Aceh yang sedang digagas.

“Semoga KKR Aceh dapat memberikan rasa keadilan bagi korban kejahatan HAM dan juga bagi keluarga korban, tanpa melupakan tragedi kemanusiaan masa lalu yang sangat kelam dan perilaku tak terperikan, kejahatan HAM itu sendiri,” harap Galuh Wandita.

Tulis Galuh lagi, ketika pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR Nasional, pembahasan mengenai KKR Aceh menemui jalan buntu. Namun dalam UUPA disebutkan dua hal: Pertama, KKR dibentuk berdasarkan UU ini (artinya UUPA). Kedua, operasional KKR dapat ditentukan dalam bentuk qanun

Dia juga mengapresiasi inisiatif DPR Aceh untuk memecahkan kebuntuan  masalah pengakuan atas kebenaran tidak hanya di Aceh, tetapi secara nasional juga, dimana sampai dengan sekarang belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengakui pelanggaran HAM berat di masa lalu, baik di Aceh maupun diberbagai wilayah lain di Indonesia. 
 
Sumber: Acehterkini.com
 
Top