OBSERVASI | LHOKSEUMAWE:
Tiga wanita berkulit putih sedang mengobrol, di salah satu gerobak jajanan di Kota Lhokseumawe. Jilbab yang panjang membalut sebagian tubuhnya.
Sesekali, salah satu dari ketiga wanita tersebut menatap tajam kearah pria yang ada disekitar. Hingga memaksa mata lelaki untuk beralih kepada pandangannya dan bibir tipisnya yang seksi pun cukup mengoda. [Baca juga : Bisnis Seks]
“D” merupakan sebagai sahabat dekat para perempuan itu, memanggil salah seorang gadis yang menggenakan baju bewarna merah memakai jilbab warna abu-abu. Hingga kemudian, gadis yang diperkirakan masih berusia belasan tahun dan masih duduk dibangku SMP menghampiri. ,“Kalau yang ini bagaimana, apakah cocok?,” ujar D sambil menawarkan.
Berdasarkan pengakuan “D”, gadis berwajah polos itu masih sekolah di salah satu SMP terpopuler di Lhokseumawe. Tarif untuk menemani bobok bareng tidak terlalu mahal, ukuran orang berduit atau kaum kelas menengah ke atas, untuk sekali bobok bareng cukup mengeluarkan 30 Dollar saja, dengan hitungan harga dolar Rp.10.000.
Seorang calon pelanggan terus memuji kemolekan sigadis itu, kemudian “D” pun dengan cepat menawarkan kapan ingin menggunakan jasanya?
“D’ menceritakan, dirinya sudah lumayan lama mengelola para perempuan yang dapat diajak “Bobok Bareng” Awalnya dirinya tidak pernah menyangka, kalau ada gadis-gadis belia yang masih duduk di bangku SMP sudah melakoni pekerjaan “Bobok Bareng”
Karena melihat aktivitas D dekat dengan wanita gituan, hingga kemudian ada gadis-gadis tersebut menawarkan dirinya kepada “D” untuk promosikan. Ya..wajar keagenan yang dilakonkan D terkenal majur dan sering mendapatkan pelanggan menengah ke atas.
Menurut D, yang menggunakan jasa para perempuan itu bukanlah sembarang orang bahkan pernah seorang oknum yang bekerja di bagian penegakan Syariah juga pernah menikmati pelayanan “Bobok Bareng” dari para gadis itu.
Untuk “berlayar dengan para gadis tersebut” pelanggan membawa ke tempat yang dianggap aman, bahkan ada yang menginapkan di sebuah hotel di kawasan kota itu.
Penyakit social ini bukan saja terjadi di kota itu saja, namun sejumlah kota di Aceh juga ada pelakon “Gituan” namun permainan yang tertutup dan terselubung membuat aktivitas ini terkesan tidak ada. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, terutama kontrol orang tua menjadi penyebab utama.
Sumber: acehbaru.com