NEWS OBSERVASI - "Kalau kita benar, jangan pernah takut untuk menulis berita apapun."
Kata-kata Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis itu masih diingat benar oleh Atmakusumah. Kala itu awal tahun 1970an, Atmakusumah menjabat Redaktur Pelaksana di koran tersebut.
Masa itu, Indonesia Raya koran besar. Oplahnya mencapai 43.000 eksemplar. Nomor dua terbanyak setelah Kompas. Mereka kritis pada segala penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Pemerintahan Soeharto yang baru seumur jagung itu mulai menyimpang dari rel dan janji awal.
"Banyak kasus dugaan korupsi yang kami tulis. Tapi yang paling sering ya Pertamina. Mungkin karena yang paling menarik," kata Atmakusumah kepada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10) malam.
Atmakusumah kini sudah berusia 75 tahun, tapi masih fasih mengingat peristiwa 40 tahun silam. Saat itu Pertamina di bawah Direktur Utama Ibnu Sutowo berkibar gemilang. Penjualan minyak mentah mengalami masa keemasan di akhir tahun 1960an. Pertamina pun berkembang menjadi perusahaan raksasa.
Sayangnya penyimpangan dan dugaan korupsi mulai menjangkiti Pertamina. Ibnu Sutowo menyeret Pertamina menuju bisnis lain di luar bidang minyak. Mulai dari hotel, restoran, asuransi, biro perjalanan dan masih banyak lagi. Ternyata hasilnya tak semulus mimpi Ibnu Sutowo. Pertamina terseret hutang hingga USD 10,5 miliar.
Gaya hidup petinggi Pertamina juga serba gemerlapan. Bahkan ulang tahun perusahaan minyak ini selalu digelar di luar negeri. Ibnu Sutowo yang pegolf handal ini selalu royal memberikan hadiah pada kilen. Uangnya tentu dari anggaran Pertamina.
Yang menakutkan, keuangan Pertamina kala itu, serba tertutup. Berdalih rahasia negara, tak seorang pun bisa mengakses data keuangan Pertamina. Penegak hukum tak berkutik melawan kekaisaran Ibnu Sutowo. Disinyalir uang penjualan minyak pun mengalir deras pada aparat keamanan.
"Mochtar Lubis punya bukti-bukti banyak. Kami yakin data-data itu valid. Kami tulis dugaan korupsi itu terus menerus," kata Atmakusumah.
Maka Harian Indonesia Raya menyatakan perang melawan penyelewengan di Pertamina. Empat tahun mereka terus mengkritisi penyelewengan Ibnu Sutowo. Berdasarkan sejumlah penelusuran Indonesia Raya 30 Januari 1970, simpanan Ibnu Sutowo diduga mencapai Rp 90,48 milyar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar).
Dalam sebuah karikatur, Indonesia Raya menggambarkan Pertamina sebagai seekor gurita raksasa. Dengan tentakel yang kuat meraih bisnis-bisnis lain.
Ibnu Sutowo tak pernah berani menghadapi Harian Indonesia Raya. Setiap dia menyangkal, Mochtar Lubis dan kawan-kawannya selalu menyerang dengan data-data valid. Ibnu Sutowo juga tak pernah bersedia diawawancara wartawan Indonesia Raya. Di berbagai forum, Ibnu Sutowo menyangkal dirinya korupsi.
Tapi perang empat tahun itu tak menggoyangkan Pertamina. Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya dipukul Orde Baru lebih dulu. Mereka dibredel setelah menulis berita tentang kerusuhan yang dikenal sebagai malapetaka 15 Januari 1974. Sejumlah wartawannya dilarang selamanya kembali bekerja di media massa. Mochtar dan Atmakusumah dua di antara mereka yang mendapat daftar hitam. Mochtar juga kena hukuman penjara 2,5 bulan.
"Kami dibredel karena peristiwa Malari. Tapi kami yakin, tentu pemerintah sudah mencatat 'dosa-dosa' kami sebelumnya. Termasuk pemberitaan miring soal Pertamina," kata Atmakusumah.
Tahun 1975, Ibnu Sutowo makin menjadi-jadi. Pertamina limbung sehingga membahayakan keuangan negara. Presiden Soeharto pun turun tangan memecat Ibnu Sutowo. Dia digantikan Piet Harjono.
Tapi hingga meninggal tahun 2001, Ibnu Sutowo tak pernah tersentuh hukum. Dirinya tak pernah dinyatakan bersalah atas semua penyimpangan di Pertamina yang membuat negara nyaris bangkrut.
Harian Indonesia Raya pun tak pernah terbit lagi. Koran ini mencatat sejarah sebagai surat kabar yang pernah dibredel oleh Soekarno dan Soeharto sekaligus. Koran dua orde yang dikenal kritis dan berani.
"Ini risiko sikap kritis kami," kata Atmakusumah, tanpa menyesal sedikit pun dikalahkan penguasa.(merdeka)
Kata-kata Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis itu masih diingat benar oleh Atmakusumah. Kala itu awal tahun 1970an, Atmakusumah menjabat Redaktur Pelaksana di koran tersebut.
Masa itu, Indonesia Raya koran besar. Oplahnya mencapai 43.000 eksemplar. Nomor dua terbanyak setelah Kompas. Mereka kritis pada segala penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Pemerintahan Soeharto yang baru seumur jagung itu mulai menyimpang dari rel dan janji awal.
"Banyak kasus dugaan korupsi yang kami tulis. Tapi yang paling sering ya Pertamina. Mungkin karena yang paling menarik," kata Atmakusumah kepada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10) malam.
Atmakusumah kini sudah berusia 75 tahun, tapi masih fasih mengingat peristiwa 40 tahun silam. Saat itu Pertamina di bawah Direktur Utama Ibnu Sutowo berkibar gemilang. Penjualan minyak mentah mengalami masa keemasan di akhir tahun 1960an. Pertamina pun berkembang menjadi perusahaan raksasa.
Sayangnya penyimpangan dan dugaan korupsi mulai menjangkiti Pertamina. Ibnu Sutowo menyeret Pertamina menuju bisnis lain di luar bidang minyak. Mulai dari hotel, restoran, asuransi, biro perjalanan dan masih banyak lagi. Ternyata hasilnya tak semulus mimpi Ibnu Sutowo. Pertamina terseret hutang hingga USD 10,5 miliar.
Gaya hidup petinggi Pertamina juga serba gemerlapan. Bahkan ulang tahun perusahaan minyak ini selalu digelar di luar negeri. Ibnu Sutowo yang pegolf handal ini selalu royal memberikan hadiah pada kilen. Uangnya tentu dari anggaran Pertamina.
Yang menakutkan, keuangan Pertamina kala itu, serba tertutup. Berdalih rahasia negara, tak seorang pun bisa mengakses data keuangan Pertamina. Penegak hukum tak berkutik melawan kekaisaran Ibnu Sutowo. Disinyalir uang penjualan minyak pun mengalir deras pada aparat keamanan.
"Mochtar Lubis punya bukti-bukti banyak. Kami yakin data-data itu valid. Kami tulis dugaan korupsi itu terus menerus," kata Atmakusumah.
Maka Harian Indonesia Raya menyatakan perang melawan penyelewengan di Pertamina. Empat tahun mereka terus mengkritisi penyelewengan Ibnu Sutowo. Berdasarkan sejumlah penelusuran Indonesia Raya 30 Januari 1970, simpanan Ibnu Sutowo diduga mencapai Rp 90,48 milyar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar).
Dalam sebuah karikatur, Indonesia Raya menggambarkan Pertamina sebagai seekor gurita raksasa. Dengan tentakel yang kuat meraih bisnis-bisnis lain.
Ibnu Sutowo tak pernah berani menghadapi Harian Indonesia Raya. Setiap dia menyangkal, Mochtar Lubis dan kawan-kawannya selalu menyerang dengan data-data valid. Ibnu Sutowo juga tak pernah bersedia diawawancara wartawan Indonesia Raya. Di berbagai forum, Ibnu Sutowo menyangkal dirinya korupsi.
Tapi perang empat tahun itu tak menggoyangkan Pertamina. Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya dipukul Orde Baru lebih dulu. Mereka dibredel setelah menulis berita tentang kerusuhan yang dikenal sebagai malapetaka 15 Januari 1974. Sejumlah wartawannya dilarang selamanya kembali bekerja di media massa. Mochtar dan Atmakusumah dua di antara mereka yang mendapat daftar hitam. Mochtar juga kena hukuman penjara 2,5 bulan.
"Kami dibredel karena peristiwa Malari. Tapi kami yakin, tentu pemerintah sudah mencatat 'dosa-dosa' kami sebelumnya. Termasuk pemberitaan miring soal Pertamina," kata Atmakusumah.
Tahun 1975, Ibnu Sutowo makin menjadi-jadi. Pertamina limbung sehingga membahayakan keuangan negara. Presiden Soeharto pun turun tangan memecat Ibnu Sutowo. Dia digantikan Piet Harjono.
Tapi hingga meninggal tahun 2001, Ibnu Sutowo tak pernah tersentuh hukum. Dirinya tak pernah dinyatakan bersalah atas semua penyimpangan di Pertamina yang membuat negara nyaris bangkrut.
Harian Indonesia Raya pun tak pernah terbit lagi. Koran ini mencatat sejarah sebagai surat kabar yang pernah dibredel oleh Soekarno dan Soeharto sekaligus. Koran dua orde yang dikenal kritis dan berani.
"Ini risiko sikap kritis kami," kata Atmakusumah, tanpa menyesal sedikit pun dikalahkan penguasa.(merdeka)