Advertistment

 

Aceh Besar, NEWS OBSERVASI - Di atas tanah seluas 7×3 meter persegi, Sultan Alaidin Mahmud Syah kini terbaring. Tidak ada keistimewaan khusus yang menggambarkan jasad tersebut dahulunya adalah seorang Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang megah. 
 
Selain makamnya yang dibangun lebih besar, satu makam lainnya sepanjang 3,5 meter persis berada di sebelah timur makam, namun di sana tidak ada tulisan yang menjelaskan siapa sosok yang terbaring di sampingnya.
 
Hanya satu plang beton bertuliskan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Besar, di bawah tulisan tersebut tercantum nama Sultan. Satu plang lain berbahan besi berkisah singkat tentang Sang Raja yang masuk dalam peninggalan sejarah dan purbakala.
 
Di tempatnya sekarang, di Gampong Tumbo Baro, Kecamatan Kuta Malaka, Aceh Besar, makam Sultan ke-34 Kerajaan Aceh tersebut hanya dipayungi satu bangunan atap seng yang dikelilingi pagar besi bercat hijau dan ubin warna putih. Beberapa bagian dari semen beton makam dan lantai telah retak, hanya tinggal menunggu rusak. Sekeliling bangunan pun sudah ditumbuhi belukar dan perdu liar.
 
Pada kunjungan Wartawan ke makam tersebut, Sabtu (13/11/2013), nyaris tidak ditemukan lokasi makam, karena tidak ada petunjuk apapun yang dapat mengarahkan ke lokasi makam sejak dari jalan nasional hingga menuju jalan Gampong Tumbo Baro sebagai jalan masuk ke makam yang berjarak sekitar 350 meter dari jalan nasional.
 
Untuk menuju lokasi, setelah 350 meter melewati jalan perkampungan, bagi yang belum pernah diharuskan bertanya pada penduduk setempat. Ini juga karena tidak ada petunjuk apapun walau sebenarnya tinggal melewati jalan rabat beton untuk makam yang berjarak 20 puluh meter di sebelah kanan jalan gampong.
 
Kini, sebelah tenggara makam, area berbatasan langsung dengan kilang kayu yang masih aktif, tampak dari kayu log berserakan di sana. Sebelah barat makam, persis di pinggir jalan gampong, bising suara bengkel mobil adalah suara sehari-hari yang menemani makam Sultan. Berjarak 10 meter arah utara bengkel, satu kedai kopi menjadi tempat berkumpul masyarakat gampong setempat.
 
Furqan (27), warga setempat yang berjualan di kedai kopi ditemui news observasi mengisahkan, empat tahun lalu area makam masih ditutupi hutan, jarang ada yang mengetahui kalau di gampong ini ada makam raja. Bahkan orang gampong saja jarang ada yang berkunjung.
 
“Termasuk bengkel, kilang kayu dan kedai kopi ini empat tahun lalu masih hutan,” kata Furqan.
Ia menambahkan, sepenglihatannya sejak ia membuka usaha kedai kopinya, baru tiga kali ada warga luar yang berkunjung ke Makam Sultan Alaidin Mahmud Syah karena banyak masyarakat luar yang tidak tahu atau pemerintah kurang publikasi.
 
Menurutnya pula, mendengar kisah dari orang tua di Gampong Tumbo, alasan makam seorang Sultan Aceh ada di gampongnya karena semasa penjajahan Belanda sepeninggal Sultan, makamnya diburu. Sebab itu makam raja harus dipindah-pindah, pada akhirnya Tumbo Baro menjadi tempat peristirahatan terakhir Sultan. Dan makam di sebelahnya, konon menurut cerita adalah makam dari keluarganya sendiri.
 
“Cocoknya jalan gampong ini bernama Jalan Sultan Alaidin Mahmud Syah karena ada makamnya di sini, namun banyak masyarakat menamakan jalan Gampong Tumbo Baro,” katanya.
 
Saat ditanya apakah ada ahli kunci atau penjaga makam raja, menurut Furqan belum pernah ia melihat ada petugas khusus yang mengurusi makam, bahkan tempat warga singgah saja tidak ada di lokasi makam.
 
Amatan akhir dari kunjungan tersebut, lokasi makam yang sekarang menjadi tanggungjawab Dinas Purbakala dan Situs Sejarah Aceh Besar ini masih terkesan tidak terawat, nampak dari kuningnya debu yang sudah menutupi warna asli cat makam yang berwarna putih.
 
Dari literatur yang tersedia, Sultan Alaidin Mahmud adalah raja ke-34 yang berkuasa pada tahun 1870-1874 dari 35 orang raja Aceh Darussalam yang berkuasa. Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada sejak 1496-1528 M di bawah kekuasaan Sultan Ali MughayaSyah dan berakhir pada 1874-1903 M dalam kekuasaan Sultan Muhammad Daud Syah.
 
Kerajaan Aceh Darussalam mengalami masa keemasan pada masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636), ia adalah raja ke-12 yang memerintah Kerajaan Aceh tersebut.
 
“Udep merde’ka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoé’reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna“. Begitulah bunyi titah raja ini kepada rakyatnya dalam berperang melawan kolonialisme di tanah Aceh dari artikel yang ditulis oleh M.Adli Abdullah. (win)
 
Top