NEWS OBSERVASI - menyalahkan ulah para spekulan di balik robohnya nilai rupiah jelas hanya
mencari kambing hitam. Bagi para spekulan, juga pedagang dan pengusaha,
nilai rupiah bakal roboh dan ini mudah terbaca. Cukup mengikuti
perkembangan cadangan devisa di Bank
Indonesia (BI) dan mencermati perekonomian Indonesia, khususnya
struktur ekspor dan impor. Kemarin, rupiah mendekati Rp 12.000 per
dollar AS.
Rupiah yang roboh atau melemah tak lepas dari neraca transaksi
berjalan yang sudah berlangsung sembilan triwulan ini atau 27 bulan.
Neraca transaksi berjalan yang defisit merupakan sebuah indikator bahwa
pasokan dollar AS
ke negeri ini bakal seret. Defisit neraca perdagangan akan memastikan
pasokan dollar AS melemah. Semakin memprihatinkan lagi jika neraca modal
juga melemah. Neraca pembayaran akan defisit. Cadangan devisa akan
rentan.
Saat ini, cadangan devisa 96,966 miliar dollar AS. Pada Agustus
2011, cadangan devisa pernah mencapai 124 miliar dollar AS. Masa bonanza
di mana ekspor komoditas dan sumber daya alam (SDA), seperti batubara,
minyak kelapa sawit
mentah (CPO), dan bauksit, melambung. Sayangnya tidak ada langkah
memperkuat struktur ekspor produk non-SDA. Akibatnya komposisi ekspor
produk non-SDA merosot dari 48 persen pada tahun 2005 menjadi 36 persen
pada tahun 2013.
Lebih ganjil lagi, tidak ada
upaya pemerintah mengurangi impor. Apalagi impor barang yang sudah bisa
diproduksi di dalam negeri, seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian
jadi. Penyelundupan dibiarkan. Tak ada upaya memberikan insentif bagi
manufaktur serupa di dalam negeri sehingga devisa bisa bertahan di dalam
negeri.
Kepekaan seakan mati. Padahal, kenaikan jumlah kelas menengah dengan kemampuan belanja yang hebat akan mendorong kebutuhan. Industri
dalam negeri tidak segera didorong untuk menangkap peluang ini.
Padahal, semuanya ataupun sebagian, bisa dipenuhi dari dalam negeri,
misalnya daging sapi, kedelai, produk hortikultura, dan produk
manufaktur tertentu.
Struktur impor juga kian kuat, terutama dalam impor bahan bakar
minyak (BBM). Sejak awal, kilang BBM tidak pernah dibangun lagi.
Padahal, produksi mobil dan sepeda motor yang meningkat pesat akan membutuhkan premium atau pertamax. Semuanya lebih banyak dipasok dari impor.
Selain itu, juga tidak ditambah mandatori penggunaan biodiesel dalam solar
untuk mengurangi impor bbm solar. Padahal, produk CPO berlimpah karena
ekspor terganggu lemahnya pasar global. Tindakan baru diambil akhir
Agustus lalu dan belum ada dampaknya. Alhasil, Pertamina perlu 150 juta-200 juta dollar AS per hari untuk impor BBM.
Robohnya rupiah belakangan ini karena pemerintah dan kita semua lengah. Selalu terlambat mengantisipasi. (Kompas)