Advertistment

 


"Mungkin ada Idul Fitri di luar sana. Tapi di sini kami semua terluka"

NEWS OBSERVASI : Abeer Shammaly tafakur di kuburan putranya yang masih segar. Di hari pertama Idul Fitri Senin lalu, ia bersama dengan warga Gaza lainnya, berziarah ke makam korban keganasan roket Israel. Di hari yang seharusnya mereka bergembira, malah diselimuti nestapa.

"Bagaimana perasaan seorang ibu, saat membuka mata di hari Idul Fitri dan tidak mendapati putranya di sampingnya?" kata Shammaly, seperti diberitakan Reuters.

Putranya Thaer (16 tahun), gugur akibat serangan Israel ke distrik Shejaiya, Gaza timur pekan lalu. Wilayah ini adalah salah satu yang paling parah digempur Israel sejak 8 Juli lalu.

"Dunia menyaksikan kami, tetapi mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan. Mengapa mereka menyia-nyiakan nyawa rakyat Palestina? Mengapa mereka melakukan ini pada kami?" jerit lirih Shammaly.

Sudah lebih dari 1.200 orang tewas akibat 3.289 serangan roket Israel ke Gaza, yang berlangsung lebih dari 20 hari ini. Lebih dari 200 di antaranya adalah anak-anak tidak berdosa. Hanya 300 korban tewas yang anggota militan bersenjata, sisanya warga sipil. 

Di hari Idul Fitri Senin lalu, Israel tidak mengendurkan serangannya, malah semakin menjadi. Hari pertama Lebaran, Senin 28 Juli 2014, sebanyak 74 orang tewas diroket Israel di Gaza. Serangan Israel mengincar kamp pengungsi Shati dan Rumah Sakit Shifa. Di Shati, 10 anak tewas saat sedang bermain di taman.

Hari kedua, serangan Israel tambah parah. Sebanyak 118 orang tewas. Kali ini, Israel juga menyerang kediaman para pemimpin Hamas, termasuk mantan perdana Menteri Palestina Ismail Haniyeh, dan kantor-kantor berita. Zionis juga menyerang pembangkit listrik, membuat penderitaan Gaza semakin bertambah. Dalam setahun ke depan, diperkirakan 1,7 juta rakyat Gaza akan defisit listrik.

Tahun-tahun sebelumnya di Gaza, seperti Muslim di Indonesia, Lebaran adalah waktu yang paling dinanti. Saat Idul Fitri tiba, biasanya jalan-jalan kota Gaza akan dipenuhi anak-anak yang memakai baju baru sambil menggenggam permen. Kembang api meletup-letup di udara.

Biasanya, orang-orang dewasa akan saling berpelukan saat bertemu di jalan. Kerabat mengucapkan selamat Idul Fitri melalui telepon, atau saling berkunjung. Beragam makanan tumpah di meja makan. Menu khas Lebaran di Gaza adalah domba bakar, maamoul --makanan semacam nastar dengan isi madu dan kacang-- dan fawakih --sajian sepiring penuh buah seperti anggur, apel dan mangga.

Namun. Senin itu, jalan-jalan Gaza sepi melompong. Suasana mencekam, warga berlarian mencari aman dari gempuran Negara Yahudi. Di Rumah Sakit Shifa, suasana riuh. Digambarkan Washington Post, mayat-mayat dan korban luka keluar masuk ke dalam rumah sakit ini.

Seorang wanita terlihat gemetar luar biasa sambil berteriak, "Saudaraku, saudaraku." Pria dewasa menangis sesenggukan di hadapan jenazah ayahnya. Anak-anak korban serangan Israel di kamp Shati, dilarikan ke rumah sakit ini. Menurut saksi, anak-anak itu sedang bermain ayunan, saat roket Israel meledakkan mereka.

"Ini hari Idul Fitri dan anak-anak itu ingin bermain. Lalu, kami dengar ledakan. Saya melihat, anak saya lari berlumuran darah. Anak-anak lainnya hancur berkeping-keping," kata seorang pria, Naji al-Deen yang pakaiannya penuh bercak merah.

Padahal, Hamas menyatakan 24 jam gencatan senjata pada Idul Fitri, namun Israel tetap menyerang. Alasannya klasik, Hamas menyerang lebih dulu. Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri mengatakan bahwa serangan Israel terhadap anak-anak Gaza adalah bentuk pembantaian.

"Kejahatan mereka tidak akan mematahkan semangat kami, dan para penjajah itu akan membayarnya," kata Abu Zuhri.

Lebih dari 215.000 warga Gaza mengungsi di kamp-kamp PBB, atau sekolah-sekolah yang didirikan UNRWA (The United Nations Relief and Works Agency) di Palestina. Jumlah ini belum ditambah puluhan ribu orang yang mengungsi dan tinggal di rumah-rumah kerabat dan kawan di seantero Gaza.

"Saya tidak tahu, apa itu Idul Fitri. Mungkin ada Idul Fitri di luar sana. Tetapi, di sini kami semua terluka. Kami pernah bahagia, tetapi itu sebelum pengeboman ini," kata Inas Ashour (16 tahun), yang terluka pada serangan Israel ke wilayah Zeitoun.

Perang jangka panjang

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa mereka telah siap untuk berperang untuk jangka panjang. Israel menggempur Gaza dari darat, laut, dan udara. Sebanyak 176.000 tentara mereka disiagakan untuk sewaktu-waktu melakukan agresi darat.

Mereka akan berhadapan dengan sekitar 9.000 pasukan Hamas di Gaza. Hamas diprediksi memiliki 10.000 roket, jumlah yang kalah jauh dibanding yang dimiliki Israel. Namun, Hamas punya taktik jitu, yaitu mengendap melalui terowongan bawah tanah.

Selasa lalu, Hamas berhasil membunuh lima tentara zionis di wilayah Israel dalam penyergapan melalui terowongan bawah tanah dari Gaza. Menurut data Israel, sebanyak 53 tentara dan tiga warga sipil mereka tewas. Namun, menurut catatan sayap militan Hamas, Brigade al-Qassam, mereka telah menewaskan 91 tentara Israel.

Netanyahu mengatakan, tentara Israel tidak akan meninggalkan Gaza sampai seluruh jaringan terowongan bawah tanah Hamas dihancurkan. "Kita harus bersiap untuk penyerangan jangka panjang. Kami akan terus menggunakan kekuatan dan kebijakan sampai misi kita ini rampung," kata Netanyahu.

Sementara itu, upaya diplomasi untuk mencapai gencatan senjata terus digodok. Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa Hamas dan Islamic Jihad di Gaza siap melakukan perundingan yang dimediasi Mesir di Kairo. Rencananya, mereka akan membicarakan gencatan senjata selama 24 jam, atau jika mungkin selama 72 jam. 

Seorang pejabat Palestina yang tidak ingin disebut namanya kepada New York Timesmengatakan bahwa para pemimpin Hamas di luar negeri sepakat gencatan senjata. Salah satunya adalah Khaled Meshal, yang saat ini ada di Qatar. Namun, petinggi Hamas di Gaza keberatan. Menurut mereka, gencatan senjata hanya terjadi jika Israel memenuhi syarat yang mereka ajukan.

Salah satu komandan militan Hamas Mohammed Deif mengatakan, tidak ada gencatan senjata sampai Israel berhenti menyerang, atau mencabut blokade atas Gaza. "Kami tidak akan menerima setiap solusi jalan tengah yang merugikan perlawanan dan kebebasan rakyat kami," kata Deif.

Hal yang sama disampaikan Abu Zuhri. "Jika kami sudah memegang komitmen Israel yang terikat perjanjian internasional, kami akan mempertimbangkannya. Tetapi, mengumumkan gencatan senjata sepihak di saat penjajah membunuh anak-anak kami, itu tidak akan terjadi," tegas Zuhri.

Kopi hitam tanpa gula

Di tengah perundingan yang dilakukan, Gaza masih menggelora. Warga Palestina di Tepi Barat menunjukkan solidaritas dengan tidak berlebihan merayakan Idul Fitri. Mereka minum kopi hitam tanpa gula, pahit, tanda berduka dalam budaya Palestina. Ketimbang membeli baju baru, mereka pilih bersedekah untuk rakyat Gaza.

Abed Alkareem, bocah tujuh tahun di Tepi Barat menolak diberikan mainan untuk Idul Fitri tahun ini. Dia malah menyumbangkannya untuk saudara-saudaranya di Gaza. "Berikan ini untuk Gaza," kata Abed yang tinggal di Ramallah, dikutip dari Huffington Post.

Warga di seberang utara Jalur Gaza ini merasa bersalah jika mereka bersenang-senang, sedangkan saudara mereka kesusahan. "Saya merasa bersalah saat tertawa. Saudara-saudari saya sedang menderita," kata Haya Dawod, warga desa Beit ‘Anan, Tepi Barat.

Seorang aktivis di Gaza, Ayah Bashir, kepada Middle East Eye, menuliskan, kendati kesulitan, namun semangat perlawanan warga Gaza masih berkobar. Mereka menolak menyerah pada kejahatan Israel. Semangat ini diturunkan terus dari orangtua ke anak-anak mereka, seterusnya hingga beberapa turunan.

"Saat saya mulai putus asa dan mulai merengek soal susahnya hidup di Gaza, ibu saya akan bilang: 'Kita membesarkan anak untuk dibunuh Israel! Kita membangun rumah untuk dihancurkan Israel! Kita tidak boleh menyerah. Kita jangan putus asa. Kita harus mengatasi penderitaan ini dan terus melawan. Mereka gugur agar kita bisa hidup secara bermartabat'," kata lulusan London School of Economics and Political Science ini.

Sumber : viva.co.id
 
Top