LSM Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) dan The Indonesia
Development Consulting mencatat beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian publik untuk mengawal kinerja anggota DPRA periode 2014-2019.
Di antaranya, menurunnya tingkat pendidikan anggota parlemen periode
sekarang, semakin sedikitnya anggota parlemen yang berusia muda, dan
besarnya jumlah wajah baru yang belum memiliki pengalaman legislasi.
"Fakta ini menjadi tantangan tersendiri bagi parlemen baru untuk
menghasilkan produk-produk legislasi dan kebijakan-kebijakan strategis
lainnya dalam menjawab berbagai persoalan pembangunan yang sedang
dihadapi Aceh dewasa ini," kata Koordinator MaTA, Alfian kepada Serambi (Tribunnews.com Network) di Banda Aceh, Selasa (30/9/2014).
Alfian didampingi para peneliti dari The Indonesia Development
Consulting (IDC), yaitu T Zukhradi S, Elly Sufriadi, Marzi Afriko, dan
Adi Warsidi, mengatakan, parpol harus memiliki andil besar dalam
meningkatkan kapasitas wakil-wakilnya di DPR Aceh.
Selain beberapa kemunduran, hasil analisis ini menunjukkan ada
beberapa isu yang mengalami perbaikan dalam komposisi anggota DPRA
periode 2014-2019. Misalnya tingkat keterwakilan perempuan yang semakin
meningkat, dan semakin baiknya proporsi anggota DPR Aceh yang berdomisili di daerah pemilihannya.
Hasil analisis MaTA dan IDC menunjukkan, tingkat pendidikan anggota DPR Aceh
saat ini mengalami penurunan yang cukup signifkan dibanding periode
sebelumnya. Dimana sebanyak 36 orang (44 persen dari 81 orang) anggota
DPRA periode 2014-2019, merupakan lulusan sekolah menengah atas
(SMA)/sederajat. Sementara sebanyak 33 orang (41 persen) adalah lulusan
sarjana (S-1) dan 10 orang (12 persen) menyandang gelar S-2 dan S-3.
Juga terdapat dua orang (3 persen) yang merupakan lulusan diploma III.
Kondisi ini berbeda dengan periode sebelumnya (2009-2014), dimana
mayoritas anggota parlemen telah menyelesaikan pendidikan sarjana yakni
sebanyak 43 orang (62 persen). Sedangkan anggota DPR Aceh
yang lulusan SMA/sederajat pada periode tersebut tercatat sebanyak 16
orang (23 persen), dan pascasarjana sembilan orang (13 persen), dan
lulusan Diploma 3 sebanyak 1 orang (2 persen).
Sementara untuk keterwakilan perempuan, pada periode sekarang
mengalami peningkatan yang berarti, dari lima orang (7,25 persen) pada
periode sebelumnya menjadi 12 orang (14,81 persen).
"Dilihat dari masing-masing dapil, hanya dapil delapan (Gayo Lues dan Aceh Tenggara) yang tidak memiliki wakil perempuan," kata Alfian.
Sementara sembilan dapil lainnya memiliki wakil perempuan dengan
jumlah yang bervariasi antara satu hingga tiga anggota dewan perempuan.
Sementara dilihat dari parpol, mayoritas parpol tidak memiliki wakil
perempuan. Hanya enam parpol yang memiliki wakil perempuan yaitu: PA (3
orang); PNA (1 orang); PAN (2 orang); Gerindra (1 orang); Golkar (4
orang); dan Nasdem (1 orang).
"Gambaran ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan berasal dari
parpol-parpol pendatang baru dan juga parpol periode sebelumnya yang
memang telah memiliki wakil perempuan. Kecuali PA, parpol-parpol periode
sebelumnya yang tidak memiliki wakil perempuan, sekarang pun tetap
tidak memiliki wakil ke DPR Aceh," kata peneliti IDC, Elly Sufriadi.
Sementara untuk kategori usia, bila usia produktif diambil dari
rentang usia 31 hingga 50 tahun, maka proporsinya setara antara periode
lalu dengan periode saat ini yakni 75 persen. Namun bila dilihat lebih
rinci proporsi kelompok usia 31-40 tahun lebih besar pada periode lalu
dibanding saat ini.
"Dengan kata lain, wakil-wakil rakyat Aceh yang berusia muda semakin sedikit," kata dia.
Hasil analisis lainnya menujukkan, dari 51 orang anggota baru di
parlemen Aceh, sebanyak 37 orang (72 persen) belum pernah punya
pengalaman legislasi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
SUMBER: tribunnews.com