NEWS OBSERVASI: Tatapan matanya kosong, antara pasrah dan seperti menyimpan “beban”
amat besar dalam hidupnya. Garis wajahnya tegas dan keras, dengan badan
sintal berotot kencang. Nurdin Ismail, alias Din Minimi tergolong pria
Aceh yang cukup ganteng. Sayang, jalan hidupnya sungguh berbeda dengan
lelaki mapan, apalagi berkelas, yang kini bertaburan di negeri ini.
“Seingatku
hanya satu yang pegang Minimi, di antara sekian banyak pengawal kami,”
ujar Imam Wahyudi, mantan jurnalis yang terlibat kuat saat pembebasan
Ferry Santoro, kamerawan RCTI yang disandera kelompok Ishak Dawod, tahun
2003 lalu.
Saat itu, Imam cs dikawal pasukan Ishak Dawod untuk
“dinaikkan ke gunung”, karena proses perundingan pembebasan Ferry
Santoro antara TNI dan GAM pimpinan Tgk Ishak Dawod nyaris dead lock.
Imam, yang kini anggota Dewan Pers, memastikan Nurdin Ismail bukan
orang yang memegang minimi itu. Seorang jurnalis yang malang melintang
saat koflik Aceh bergolak, khususnya di Aceh Timur dan Utara, Hotli
Simajuntak, juga tak begitu hafal wajah Nurdin. “Tapi kayaknya wajah itu
akrab sekali, macam kukenal,” ujarnya.
Maklum saja, saat konflik,
begitu banyak yang datang, dan pergi. Kecuali pimpinan teras, anggota
pasukan sulit dikenali, kecuali ada “insiden” khusus, sehingga harus
“bergaul lebih lama dari dugaan”, seperti yang dialami tim jurnalis
pembebas Ferry, di Aceh Timur, awal 2004 lalu.
Nurdin Ismail alias Din Abu Minimi,
orang paling dicari polisi di Aceh Timur sejak tahun lalu, hingga saat
ini. Dilahirkan di Desa Keude Buloh, Kecamatan Julok, Aceh Timur, dari
pasangan Ismail-Sapiah. Nurdin bergabung dengan GAM sejak Tahun 1997 di
bawah pimpinan almarhum Tgk Kaha. Nurdin anak sulung empat bersaudara.
Nasib membuat mereka berempat menjadi anggota GAM, masa konflik lalu.
Adiknya
bernama Hamdani alias Sitong, tewas dalam pertempuran antara GAM dengan
aparat tahun 2004. Adik ke tiganya, Mak Isa alias si Bukrak, hilang
sejak konflik, dan hingga kini tidak diketahui hidup atau mati. Dan
terakhir adik bungsunya, Azhar, kini pengangguran dan berdomisili di
Aceh Timur. “Suara kencang” Din Minimi,
yang bersikap keras terhadap pemerintahan di Aceh, yang kini dipimpin
oleh orang yang semestinya dulu adalah pimpinan tinggi dan tertingginya,
membuat banyak orang terperangah.
Ada yang mungkin sangat
mengerti, namun pasti banyak yang sulit menerima, dengan alasan membuka
luka lama, dan konflik yang begitu menakutkan, dengan damai yang kini
begitu indah dan bermanfaat. Benarkah? Tergantung sisi pandang, “sisi
menikmati” (menikmati nostalgia atau menikmati kemapanan saat ini),
serta makna pesan dan cara “memakai cermin”. Semua orang punya sisi
kelam, tapi tak semua orang punya kesempatan untuk memperbaikinya,
apalagi “menikmatinya”.
Sumber: harianaceh.co