NEWSOBSERVASI: Kisah anak yang berubah menjadi batu tidak hanya dituturkan dalam hikayat Malin Kundang yang menceritakan seorang anak durhaka yang dikutuk jadi batu oleh ibunya sendiri. Namun, kisah yang ini berbeda. Kisah yang satu ini benar-benar terjadi.
Semuanya bermula di sebuah kota yang terletak di kaki gunung berapi. Ribuan tahun lalu, kota tersebut digoncang gempa besar. Tanah bergetar hebat. Udara panas membakar seluruh penjuru kota.
Di tengah kekalutan yang membuat panik seluruh warga kota, seorang anak kecil berusia empat tahun merangkak ketakutan ke arah pangkuan ibunya. Anak laki-laki itu berusaha mencari perlindungan dalam pelukan perempuan yang paling dicintainya itu.
Ada secercah kedamaian dalam teror yang dirasakannya. Dia pun mati dan menjadi batu bersama perempuan yang melahirkannya itu. Kisah cinta keduanya abadi dalam patung batu. Jenazah ayah dan seorang saudaranya ditemukan tak jauh dari dirinya.
Kini, setelah 2.000 tahun berlalu, kisah cinta kasih orang tua dan anak tersebut terungkap ke khalayak ramai. Peristiwa tragis tersebut terjadi pada 79 Sebelum Masehi (SM), ketika Gunung Vesuvius yang selama itu tertidur tiba-tiba meletus.
Beberapa warga kota Pompeii tidak memprediksi hal tersebut. Banyak warga yang masih berjalan-jalan di luar rumah. Semburan udara dan debu yang amat panas menyerang seisi kota. Diperkirakan 10 ribu hingga 25 ribu orang tewas dalam tragedi tersebut.
Kerumunan warga berkumpul di gudang-gudang dan dermaga pelabuhan. Mereka begitu putus asa mencari tempat kosong dalam perahu-perahu terakhir yang mereka harap bisa menyelamatkan mereka. Sementara, penduduk lainnya ditemukan berkerumun di tempat publik dan rumah mereka.
Ketakutan warga Pompeii tersebut terabadikan setelah jenazah mereka mengeras menjadi batu akibat debu panas. Patung-patung yang mengekspresikan kengerian peristiwa tersebut menjadi kisah terakhir Kota Pompeii.
Patung sang anak dan ibunya ditemukan dalam rumah mewah yang bernama House of the Golden Bracelet. Rumah tersebut berada di perumahan orang kaya di Pompeii.
Kematian menghampiri keluarga tersebut dengan amat cepat. Awan panas gas vulkanik
dan abu panas diperkirakan menerpa mereka dengan suhu 300 derajat Celsius. Temperatur yang luar biasa panas terebut mampu menghanguskan material organik dalam waktu sekejap mata.
Tragedi tersebut kemudian dicoba untuk direka ulang oleh Museum Arkeologi Nasional Naples di Italia. Bagi petugas museum, mengawetkan dan mengembalikan patung jenazah menjadi pengalaman menguras perasaan.
“Meski peristiwa ini telah terjadi 2.000 tahun lalu, dapat terlihat peristiwa ini dialami oleh seorang anak laki-laki dengan ibu dan keluarganya. Ini adalah arkeologi manusia, tidak hanya sekadar arkeologi,” kata konservator museum, Stefania Giudice, seperti dilansir News.com.au, Sabtu 6 Juni 2015.
“Perasaan kami tersentuh ketika mengerjakan patung jenazah ini, terutama saat kami menambahkan plester pada jenazah-jenazah itu,” tutur Giudice.
Museum Arkeologi Nasional Naples telah memulihkan seluruh patung kelurarga sang anak laki-laki dan 82 patung warga Pompeii lainnya. Seluruh patung tersebut menjadi fokus utama pameran Amphiteatre of Pompeii yang akan dibuka akhir pekan ini(okz)