NEWSOBSERVASI: Kendati masuk menjadi salah satu partai koalisi pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Partai Nasional Demokrat (NasDem) mengaku tak segan mengkritisi semua kebijakan pemerintah, yang dinilainya menyimpang. Bahkan, NasDem menilai, Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, mulai berangsur meninggalkan komitmennya soal 'Revolusi Mental.'
Ini dikatakan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh saat bertandang ke Surabaya, Jawa Timur. "Ya mengkritik berdasarkan daya nalar, Partai NasDem tetap kritis, tapi konstruktif. Itu bisa dalam hidup. Saya bertanggung jawab atas statement saya ini," tegas Surya Paloh, Minggu (26/7).
Harus diakui, lanjut dia, Pemerintahan Jokowi-JK baru berjalan tujuh bulan, sehingga semua tidak bisa dibebankan ke pundak mantan Gubernur DKI Jakarta itu. "Saya tidak setuju jika ada yang bilang pemerintah tidak bekerja apa-apa. Pemerintah ini kan baru berjalan tujuh bulan, dan sudah diwarisi berbagai macam persoalan kebangsaan. Saat Jokowi memerintah, negara dalam kondisi defisit anggaran," paparnya.
Soal isu reshuffle yang masih gencar, Bos Media Grup ini sepakat terhadap langkah yang diambil Jokowi, meski nantinya salah satu kader NasDem yang duduk di Kabinet Kerja terkena imbas. "Reshuffle harus segera dilakukan. Itu hak prerogatif presiden. Yang perlu diingat, reshuffle bukan bukan obat mujarab. Belum tentu reshuffle bisa menyelesaikan masalah, tapi hanya bagian dari penyelesaian masalah," tegasnya.
Surya Paloh juga mengingatkan, Parpol anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH) juga tidak perlu marah jika kadernya di Kabinet Kerja ada yang direshufle. "Jangan terus marah. Dulu kita sepakat koalisi tanpa bagi-bagi kursi, tapi ketika semuanya ikut kemudian di-reshuffle, marah. Ini hak presiden," sindirnya.
Dia juga menilai, saat ini, kondisi bangsa mengalami distorsi penyelewengan kaidah-kaidah demokrasi yang Pancasilais. "Ini menjadi masalah bangsa yang serius. Apakah Pancasila masih relevan menjadi dasar kehidupan berbangsa. Apakah penghormatan masyarakat pada Ketuhanan sudah relevan?," tanya Surya Paloh.
Menurutnya, keberadaan Pancasila di tengah-tengah bangsa, sudah mulai meredup. Pancasila sudah mulai tidak mendapat tempat di hati bangsa.
"Undang-undang tidak ditaati, mulai disiasati. Hampir di semua aspek kehidupan tidak memiliki disiplin kuat sehingga tidak mampu melahirkan anak bangsa yang hebat. Sekarang sudah mulai dengan siapa aku, siapa kamu. Berapa hargamu dan berapa hargaku. Semuanya dilakukan atas dasar kesepakatan transaksional," kritiknya.
Kehadiran pemerintah baru, Jokowi-JK, adalah pemerintahan yang harus menerima perhatian dari akumulasi aspek kehidupan yang buruk. "Kalau pemerintah Jokowi tidak siap dengan segala aspek, maka akan lebih mabok. Bangsa ini sudah sakit, yang bikin undang-undang juga sakit. Saya menilai Jokowi sudah mulai meninggalkan revolusi mentalnya, takut tidak populer," ucapnya pedas untuk kesekian kali.
Sementara itu, soal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2015, tentang pemilihan kepala daerah, Surya Paloh juga melontarkan kritik pedasnya. Dia menganggak undang-undang itu, 'sakit.' Sebab, calon tunggal di salah satu daerah, seperti di Surabaya, masih diinginkan rakyat untuk terus memimpin, kenapa harus ditunda hingga 2017.
"Itu yang membuat undang-undang, sakit. Wong pemimpinnya masih diinginkan rakyat. Kenapa itu undang-undang mengharuskan minimal ada dua calon? Ya biarkan saja, kalau memang masih diinginkan rakyat, karena mampu," katanya menyikapi Pilwali Surabaya, yang masih memiliki calon tunggal, yaitu incumbent Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana.
Tak hanya ini saja, Surya Paloh juga mengkritisi kasus Tolikara, Papua, yang dinilai maslah kecil. "Tapi karena kondisi bangsa kita yang lemah, mudah terprovokasi, masalah ini menjadi merembet. Kasus ini, hanya 'crit on the crit,' cerita dalam cerita saja. Karena kondisi bangsa kita yang lemah itu saja," katanya santai.
Kembali dia menegaskan, Indonesia seharusnya mampu menjaga kelanjutan negeri yang hebat dan mampu dipersembahkan pada generasi penerus.
Sebagai bangsa tidak boleh meminta bantuan dari bangsa lain untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Justru perubahan cara berpikirlah yang akan membangkitkan fenomena baru yang respek terhadap bangsa.
"Saya harus menyatakan kepedihan saya, karena negeri-negeri maju memandang bangsa kita dengan sebelah mata. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, inilah memang kondisinya. Karena keteladanan tidak diberikan pemimpin-pemimpin bangsa. Mereka tidak pernah mau mengakui kesalahannya," nilainya.
Di akhir pembicaraan, Surya Paloh menyinggung soal Pengacara OC Kaligis yang terlibat kasus suap. "Dia sudah tidak di NasDem. Setelah menjadi tersangka, dia menghubungi saya langsung, mengatakan mundur dari NasDem, dan kita tidak akan memberi sanksi apapun karena dia sudah mengundurkan diri," tandasnya. (merdeka)