Oleh : Ferry Afrizal
Siapa yang tak kenal sama yangnama nya SATPOL PP (Satuan Polisi Pamong
Praja) yang kerap melakukan penertibanyang berakgir dengan Aksi
kekerasan yang belakangan ini justru nampak semakinmarak terjadi di
tengah masyaraka yang demokratik.
Keberadaan SATPOL PP (SatuanPolisi Pamong Praja) juga patut kita
pertanyakan di samping berfungsi sebagaipelaksana PERDA (peraturan
daerah) juga sudah menjadi momok yang menakutkanbagi kalangan rakyat
miskin kota dan terkesan melakukan pelanggaran HAM alareformis yang
secara otomatis bisa di nilai SATPOL PP sama kejamnya
sepertimiliteristik ala ORBA bentukan Soeharto
Di dalam melakukan tindakan kekerasanpada umumnya penguasa menerapkan
Teori machiavellis untuk memperoleh pembenaran moral.Tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh penguasa disebut-sebut untuk"kepentingan rakyat"
misalnya demi ketertiban, keamanan, kenyamanan,peningkatan
kesejahteraan dan membela hak warga lainnya.
Mereka yang menjadi "korban"kekerasan dipandang sebagai "pelanggar
hukum", "perusak" atau "pengganggu"sehingga tidak layak mendapat
perlindungan dan harus "disingkirkan", bahkanapabila perlu harus
diberikan sanksi pula sebagai efek jera. Dalam hal inipenguasa seolah
memperoleh justifikasi bahwa kekerasan yang terjadi adalahwajar dan
warga harus memaklumi atau menerima kenyataan.
Sudah menjadi hal yang lumrahrealita yang terjadi selama ini bahwa
Satpol PP merupakan kepanjangan tangandari kepentingan politik kepala
daerah yang terkadang berkolaborasi denganmodal dan kepentingan lain di
balik proyek-proyek penertiban dan penggusuran.
Banyak kebijakan-kebijakan yangdi lahirkan terkesan mengada-ngada yakni
hanya untuk mengatasi permasalahan demimengamankan kepentingan
sebagian kelompok yang tanpa memberikan solusi bagi sebagian wargalain
yang terkena dampak/imbas dari kebijakan tersebut. sehingga warga
yangterkena dampak akan bertahan atau bahkan melakukan perlawanan
demimempertahankan hak hidupnya.
Maka dari itu perlu di perhatikanoleh berbagai kalangan terutama
aparatur penegak hukum terkait cara berhukumyang bersifat
"legal-positivistik" harus ditinggalkan dan diupayakan untukmenggunakan
cara berhukum yang lebih kritis, responsif dan progresif. Antara
lainpemahaman mengenai hukum harus dibuka lebih luas lagi sehingga
tidak terbataspada bunyi peraturan, tetapi harus pula dikaitkan dengan
latar belakang sosial masayarakathingga pada aras filosofisnya. Ini
berlaku tidak hanya bagi Satpol PP semataakan tetapi juga bagi seluruh
elemen birokrasi yang terkait dengan sistemoperasionalisasi Satpol PP.
Kedua, budaya birokrasi yang bersifat ketat,hirarkis dan militeristik
harus di benahi sehingga transparan untuk mekanismekerja yang lebih
fleksibel, menghargai kesetaraan dan lebih humanis (manusiawi)Dengan
menggunakan pendekatan hukum progresif yang bertumpu pada asas
"hukumuntuk manusia", diharapkan keberadaan Satpol PP tidak lagi
sebagai alatkekuasaan untuk merepresi masyarakat dan melakukan
pelanggaran HAM, namun bisalebih berperan sebagai bagian dari sistem
perlindungan masyarakat berdasarkanhukum yang bernurani dan
bermartabat.
Penulis: Ferry Afrizal
Presidium Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh (FKMA)
NewObservasi Menerima kiriman Artikel/Opini
Kirim: newsobservasi(at)gmail.com
Sertakan Foto dan Data diri