Jakarta | Lembaga swadaya Indonesia Budget Center
menilai yang penting disoroti dari utang negara sebesar Rp 2.023 triliun
adalah penggunaannya. Namun, sampai sekarang, pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai tidak transparan dalam
menjelaskan penggunaan utang tersebut.
Peneliti IBC Apung Widadi melihat adanya kecenderungan pemerintah
sengaja membuat Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) defisit.
Dengan begitu, kekurangannya selalu diarahkan agar ditutup dari utang.
Pemerintah tidak pernah berkomitmen mencari sumber pendapatan baru untuk
menutupi kebutuhan belanja yang semakin besar.
"Misalnya dari perubahan APBN-P kemarin, yang lebih banyak dibahas
alokasi makro, tapi sektor pendapatan tidak ada dorongan untuk
ditingkatkan, sehingga akhirnya kita kembali berutang," ujarnya selepas
diskusi Kemandirian Bangsa di Tebet, Jakarta, Minggu (07/7).
Apung mencontohkan komentar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Hatta Rajasa dua bulan lalu yang mengaku tidak khawatir dengan utang
besar.
Saat itu Hatta beralasan, yang lebih penting adalah menjaga rasio
utang terhadap GDP. "Yang penting dijaga adalah utang terhadap GDP.
Orang anggap angka yang aman itu 60 persen. Kita hanya 24 persen," ujar
Hatta.
Padahal, menurut Apung, yang lebih patut disorot adalah realisasi
penggunaan utang itu. Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah
melansir pernyataan ada potensi penggelembungan (mark up) utang tanpa
ada audit yang jelas.
"Dibanding rasio terhadap PDB, yang lebih penting dari utang yang
besar ini adalah akuntabilitas penggunaannya. Ketua BPK Hadi Purnomo
pernah menyatakan ada potensi mark up utang, tapi sampai sekarang,
auditnya itu-itu saja," paparnya.
Saat ini, audit pemanfaatan utang pemerintah hanya fokus pada
persoalan administratif. Semisal Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan
prosedur utang sudah benar atau tidak. Bagi Apung, sudah saatnya BPK
menggandeng KPK, memperdalam pemeriksaan utang itu.
"Sekarang perlu item auditnya diperluas, utang itu produktif tidak sih, atau pengelolaan kebocorannya berapa," kata Apung.
Sebelumnya, data Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan, sejak SBY
berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp
724,22 triliun. Peningkatan ini signifikan lantaran pada 2004, utang
pemerintah baru sebesar Rp 1,299 triliun.
"Rata-rata setiap warga Indonesia menanggung utang sekitar Rp 8,5 juta," kata Ketua KAU Dani Setiawan di tempat yang sama.
Penambahan utang luar negeri selama era SBY, menggerus anggaran
negara dan mengurangi belanja sektor publik. Buktinya anggaran
kemiskinan, imbuh Dani, saat 2005 ketika SBY baru setahun berkuasa,
sebesar Rp 23 triliun. Pada 2013, akumulasi kenaikannya hanya Rp 115
triliun. [merdeka.com]