Sejak
pengesahan Qanun nomor 3 tahun 2013 Pada Jumat 22 Maret 2013 malam lalu tentang
Bendera dan Lambang Aceh oleh DPRA masih berbuntut hingga saat ini. Pasca
pengesahan itu ‘sejumlah’ masyarakat semacam kedatangan multi vitamin baru
dalam harapan hidupnya sebagai warga Aceh.'
Kenapa
tidak Luwee Chut yang selama ini sudah meugutee (Celana
yang selama ini sudah berkutu) seakan akan segera tergantikan dengan
disahkannya Qanun tersebut.
Atap
rumah yang selama ini bocor, jajan dan biaya sekolah anaknya juga akan
tertanggulangi, ketiadaan penghasilan rutin untuk menyambung hidup hari-hari,
dan ketiadaan pekerjaan juga se-akan bakal tertangani pasca itu.
Pengesahan
qanun tentang akan adanya bendera di Aceh memang terjadi di Banda Aceh, namun
pemberitaan media dilumat habis oleh masyarakat hingga pedalaman Aceh, baik
yang menggantung harapan dari Bendera tersebut, maupun yang hanya ingin
tahu bagaimana bentuk dan bagaimana ketentuan dari bendera itu sendiri.
Namun
disamping yang tertulis dimedia, belum tentu juga sejumlah masyarakat memahami
makna dari apa yang bisa diangkut dari gerbong yang namanya bendera itu. Apakah
dengan dengan mudah gerbong yang namanya bendera itu akan mengangkut sekian
ratus harapan yang telah di impikannya? ‘Masyarakat’ tidak faham.
Lebih
lagi bila berbicara ketentuan. Masyarakat hanya mengetahui sedikit saja,
intinya setelah MoU Helsinki Aceh sudah dapat mengatur diri sendiri, dan
bendera adalah termasuk didalamnya. Namun tidak semua membaca bagaimana
sebenarnya yang tertulis secara benar dan bagaimana fahamnya dari tulisan itu
sendiri.
‘Sejumlah
masyarakat juga tidak memahami proses dikemudian, banyak yang menganggap pasca
di ketuk palu oleh DPRA, semua sudah bebas, semua sudah sah. Dalam posisi ini,
masyarakat seakan melupakan dirinya masih hidup dalam sebuah Negara yang
bernama Indonesia. Dimana Qanun tersebut harus juga mendapatkan pengesahan dari
lembaga lainnya di Negara ini. Artinya tidak cukup cuma pada tingkatan DPR
di Aceh.
Terbalutnya
masyarakat dalam faham ini semakin di perparah dengan banyaknya mengkonsumsi
informasi yang tersebar dari “Radio Meu Igo” (Informasi
liar) Radio Meu Igo terkadang dalam menyampaikan informasi juga
menurut arah kepentingan si Radio itu sendiri.
Terbatasnya
pengetahuan dan speaker pembanding, membuat kesahehan yang dipercaya oleh
‘sejumlah masyarakat’ justru informasi dari radio tanpa frekwensi jelas ini.
Pasalnya
radio ini seakan bertindak sebagai ‘Penyurah’ dari sebuah
informasi berkembang, sehingga hasil surahnya Radio Meu igo menjadi informasi
yang sahih dianggap oleh ‘masyarakat’ pada hal Radio Meu Igo terkadang
sengaja memberikan informasi yang berisikan berjuta harapan sesuai dengan pesan
sponsornya dan mengikuti sesuai dengan arah kesukaan dan harapan masyarakat.
Dalam posisi ini bukan berarti Radio pada tingkatan pedesaan yang
salah, tidak tertutup kemungkinan ia adalah korban dari Radio
pada tingkatan yang lebih tinggi.
Efek
dari informasi yang diyakini ini sangatlah besar, dapat di ilustrasikan efeknya
seperti obat bius saat dokter hendak melakukan operasi, dimana penggunaanya
untuk menghilangkan rasa sakit atau anti biotik untuk menghilangkan rasa nyeri,
artinya masyarakat yang sedang menggantung harapan tidak bakal bosan, karena
ketika muncul kesadaran, langsung tersambung dengan harapan baru.
Sehingga
dengan kondisi keyakinan masyarakat yang sedemikian rupa bakal terlupakan perih
dan nyerinya kehidupan yang dirasakan sebelumnya atau saat ini dan
akan terpasungnya kemarahan dan emosional yang sebelumnya sempat meluap
di alam pikirannya.
Kemudian
ia pun dengan mudah menerima lembaran-lembaran berikutnya dan membuat
emosialnya ‘tersabarkan’ dan membuat terkaburkan kenyataan yang dirasakan dan
dilihatnya.
Kenyataan
ini membuat segelintir orang-orang berkepentingan, terbahak-bahak, karena
strategi memasung dan memaksakan ‘sabar’ dengan menampilkan harapan baru akan
menjadikan modal baru untuk meraih intan dan berlian selanjutnya. Dan pada
sampai waktunya, di episode berikutnya juga bakal lahir juga anti biotik baru
untuk melahirkan kesabaran episode berikutnya.
Bagaimana
dengan ‘masyarakat’?
Tentunya
keyakinan itu bakal memutar waktu dan terseleksi. Bila daya tahan lemah dan umur
semakin tua serta Allah berkehendak, satu, dua berpulang. Sementara yang lain
bila juga tidak tersadarkan dan menemui titik koordinat apa sesungguhnya. Maka
iapun akan membawa keyakinan serta harapan dari setiap episode hingga
akhirnya….
Tidak
ada yang bantah semua masyarakat Aceh ingin hidupnya Stended alias
Standar, serta jelas, baik secara hukum, ekonomi serta identitas,
pasca damai ini.
Namun
jika dalam menggapai kedudukan, mah, atau identitas tersebut, masyarakat yang
sejatinya adalah motor yang selama ini selalu menjadi objek untuk
digerakkan, terbiarkan membawa harapan berat dengan kondisi perut kembung
hingga berefek pada putih pasinya wajah karena ketidakberimbangan pikiran dan
asupan gizi.
Sampai
disini, 8 tahun usia perdamaian semuanya tergantung dari ‘Masyarakat’ apakah
tersadarkan, dalam memilih jalan atau justru terduduk diam dan terbuai dengan
impian ? (Acehbaru.com)