ATAMBUA_OBSERVASI - Terlunta-lunta, ribuan warga eks
Timor Timur yang kini tinggal di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara
Timur, mengeluhkan nasib mereka pada Komisi Nasional HAM. Mereka merasa
tak mendapat perhatian serius dari Pemerintah Indonesia.
“(Kami mengalami) keterbatasan mendapatkan jaminan penghidupan, sarana infrastruktur, informasi, pendidikan, jaminan kesehatan, dan banyak lagi," keluh tokoh masyarakat Timtim Atambua, Jeka Pereira, dalam dialog dengan Komnas HAM, di Weliurai-salore, Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk, Belu, Selasa (20/8/2013).
Tim dari Komnas HAM dipimpin oleh Ketua Tim Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai. Bersamanya, ikut datang anggota Komnas HAM Endang Sri Melani, Agus Suntoro, dan Kawiji.
Semua keterbatasan tersebut, ujar Jeka, mereka alami sejak jajak pendapat 1999 dan memutuskan memilih menjadi warga negara Indonesia. "Terutama kami yang tinggal di Belu dan berbatasan langsung dengan Timor Leste," ujar dia.
Pigai berjanji Komnas HAM akan terus memantau dan memperjuangkan pengungsi eks Timor Timur yang masih tinggal di kamp pengungsi di Kabupaten Belu itu. "Sesuai mandat pasal 89 ayat 3 UU 3 Tahun 1989 tentang HAM," tegas dia.
Pemantauan ini, lanjut Pigai, juga merupakan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste. Dia pun mengatakan Komnas HAM Indonesia dan Timor Leste Office of Provedor for Human Right and Justice, juga telah menandatangani kesepahaman pada 13 Mei 2013 tentang kerja sama perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM.
Fokus dalam nota kesepahaman itu, sebut Pigai, adalah pemenuhan HAM di daerah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. "Dalam hal ini Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan Timor Leste," ujar dia.
Menurut Pigai, daerah perbatasan seharusnya mendapatkan perhatian serius pemerintah karena rawan terjadi pelanggaran HAM. Selain itu dia mengatakan sampai saat ini masih ada persoalan terkait kepemilikan warga perbatasan ini. "Sebagian harta benda mereka masuk yurisdiksi Timor Leste," sebut Pigai.
Pemantauan diharapkan bisa mengumpulkan informasi dan fakta di lapangan. "Dari informasi dan fakta itu, kami akan membuat rekomendasi pada Pemeritah Indonesia untuk membuat kebijakan terkait pemenuhan HAM masyarakat perbatasan," janji dia.
“(Kami mengalami) keterbatasan mendapatkan jaminan penghidupan, sarana infrastruktur, informasi, pendidikan, jaminan kesehatan, dan banyak lagi," keluh tokoh masyarakat Timtim Atambua, Jeka Pereira, dalam dialog dengan Komnas HAM, di Weliurai-salore, Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk, Belu, Selasa (20/8/2013).
Tim dari Komnas HAM dipimpin oleh Ketua Tim Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai. Bersamanya, ikut datang anggota Komnas HAM Endang Sri Melani, Agus Suntoro, dan Kawiji.
Semua keterbatasan tersebut, ujar Jeka, mereka alami sejak jajak pendapat 1999 dan memutuskan memilih menjadi warga negara Indonesia. "Terutama kami yang tinggal di Belu dan berbatasan langsung dengan Timor Leste," ujar dia.
Pigai berjanji Komnas HAM akan terus memantau dan memperjuangkan pengungsi eks Timor Timur yang masih tinggal di kamp pengungsi di Kabupaten Belu itu. "Sesuai mandat pasal 89 ayat 3 UU 3 Tahun 1989 tentang HAM," tegas dia.
Pemantauan ini, lanjut Pigai, juga merupakan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste. Dia pun mengatakan Komnas HAM Indonesia dan Timor Leste Office of Provedor for Human Right and Justice, juga telah menandatangani kesepahaman pada 13 Mei 2013 tentang kerja sama perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM.
Fokus dalam nota kesepahaman itu, sebut Pigai, adalah pemenuhan HAM di daerah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. "Dalam hal ini Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan Timor Leste," ujar dia.
Menurut Pigai, daerah perbatasan seharusnya mendapatkan perhatian serius pemerintah karena rawan terjadi pelanggaran HAM. Selain itu dia mengatakan sampai saat ini masih ada persoalan terkait kepemilikan warga perbatasan ini. "Sebagian harta benda mereka masuk yurisdiksi Timor Leste," sebut Pigai.
Pemantauan diharapkan bisa mengumpulkan informasi dan fakta di lapangan. "Dari informasi dan fakta itu, kami akan membuat rekomendasi pada Pemeritah Indonesia untuk membuat kebijakan terkait pemenuhan HAM masyarakat perbatasan," janji dia.