OBSERVASI | JAKARTA :
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) meraih gelar doktor dari
Institut Pertanian Bogor (IPB) di bidang ekonomi pertanian. Sebagai
lulusan pertanian, SBY diharapkan mampu membuat kebijakan yang mampu
mendongkrak sektor pertanian. Pada kenyataannya, sektor pertanian tidak
menjadi prioritas utama selama dua periode pemerintahannya. Hal ini
disampaikan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, di
Jakarta, Senin (23/9/2013).
"Selama dua periode pemerintahannya, jauh dari niatan SBY untuk
mengembangkan pertanian. Kredit terhadap bantuan pertanian, penyediaan
tanah bagi petani, perlindungan pasar, itu tidak ada sama sekali. Saya
kira dia tidak punya komitmen terhadap ilmu pengetahuannya sendiri,"
ucapnya.
SBY lulus dalam sidang disertasi pada saat kampanye bulan Oktober 2004 sebelum menjabat sebagai Presiden. Dalam disertasi tersebut, SBY berargumen bahwa kesejahteraan justru harus dimulai dari pedesaan. Pembangunan di pedesaan yang berbasis pada pertanian justru bisa menuntaskan masalah kemiskinan dan pengangguran. Nyatanya, keahliannya di bidang pertanian justru berbanding terbalik dengan kondisi pertanian di Tanah Air.
Iwan berpendapat, kebijakan industrialisasi pertanian Indonesia lebih mementingkan korporasi asing. Ia mencontohkan bagaimana industri perkebunan kelapa sawit yang menjadi andalan ekspor nasional justru dimiliki oleh pengusaha asal Malaysia dan Singapura. Pemerintah, lanjut Iwan, tidak bisa mengontrol produk turunan kelapa sawit, seperti minyak goreng. Begitu pula dengan produk-produk turunan lainnya, seperti margarin dan odol yang justru diimpor.
"Ini menunjukkan tidak ada hubungan kebijakan industrialisasi pertanian dengan pemenuhan kebutuhan rakyat," katanya.
Ia juga menuturkan, Pemerintah Indonesia di bawah SBY juga tidak gigih dalam memperjuangkan komoditas-komoditas strategis Indonesia, seperti beras, kedelai, dan buah-buahan, dalam forum perdagangan internasional seperti WTO.
Sebaliknya, pemerintah justru melindungi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal, investasi asing, menurut Iwan, seharusnya memberikan lapangan kerja dan keuntungan transfer teknologi.
Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, tanah masyarakat justru dirampas, dan masyarakat hanya dijadikan buruh perkebunan. "Jadi, kondisi pertanian kita ini hancur-hancuran," katanya.
SBY lulus dalam sidang disertasi pada saat kampanye bulan Oktober 2004 sebelum menjabat sebagai Presiden. Dalam disertasi tersebut, SBY berargumen bahwa kesejahteraan justru harus dimulai dari pedesaan. Pembangunan di pedesaan yang berbasis pada pertanian justru bisa menuntaskan masalah kemiskinan dan pengangguran. Nyatanya, keahliannya di bidang pertanian justru berbanding terbalik dengan kondisi pertanian di Tanah Air.
Iwan berpendapat, kebijakan industrialisasi pertanian Indonesia lebih mementingkan korporasi asing. Ia mencontohkan bagaimana industri perkebunan kelapa sawit yang menjadi andalan ekspor nasional justru dimiliki oleh pengusaha asal Malaysia dan Singapura. Pemerintah, lanjut Iwan, tidak bisa mengontrol produk turunan kelapa sawit, seperti minyak goreng. Begitu pula dengan produk-produk turunan lainnya, seperti margarin dan odol yang justru diimpor.
"Ini menunjukkan tidak ada hubungan kebijakan industrialisasi pertanian dengan pemenuhan kebutuhan rakyat," katanya.
Ia juga menuturkan, Pemerintah Indonesia di bawah SBY juga tidak gigih dalam memperjuangkan komoditas-komoditas strategis Indonesia, seperti beras, kedelai, dan buah-buahan, dalam forum perdagangan internasional seperti WTO.
Sebaliknya, pemerintah justru melindungi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal, investasi asing, menurut Iwan, seharusnya memberikan lapangan kerja dan keuntungan transfer teknologi.
Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, tanah masyarakat justru dirampas, dan masyarakat hanya dijadikan buruh perkebunan. "Jadi, kondisi pertanian kita ini hancur-hancuran," katanya.
kompas