OBSERVASI | BANDA ACEH :
Sejumlah narasumber yang mengisi kegiatan Dialog Pemuda Pemudi Nusantara
dengan tema: “Damai Aceh Dalam Keberagaman, Menekankan Pentinya
Penyelesaian Perbedaan dan Keberagaman Dengan Dialog, dan Tidak Harus
Dengan Kekerasan.”
Diskusi yang digagas oleh Forum Islam Rahmatan Lil Alamin ini,
digelar di aula Pemko Banda Aceh, dengan menghadirkan narasumber Alisa
Wahid, kordinator jaringan Gusdurian, Iliza Sa'aduddin Djamal Wakil
Walikota Banda Aceh, Bondan Gunawan mantan Menteri era Gusdur, Nia
Sjarufuddin, Sekjen Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, dan T Muhammad
Jafar Sulaiman Ketua Forum Islam Rahmatan Lil Alamin.
Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa'adduin Djamal menegaskan, pada prinsipnya Pemko Banda Aceh sangat menghargai perbedaan dan keberagaman masyarakat di wilayah ini. "Masyarakat Banda Aceh itu sangat toleran dalam keberagaman, hal ini dikarenakan kultur warga Banda Aceh didasarkan dalam Keislaman yang kental," katanya.
Terkait dengan penertiban beberapa jumlah rumah ibadah, politisi PPP ini menerangkan, bahwa hal itu merupakan bagian dari upaya pemerintah menyelematkan kaum minoritas. "Kita tidak pernah melarang warga beribadah, namun tentunya setiap upaya pendirian rumah ibadah harus memperhatikan ketentuan dan aturan yang ada," jelasnya.
Sementara itu, Bodan Gunawan menjelaskan, perbedaan dan keberagaman masyarakat Indonesia adalah anugarah, dan hal ini tidak pernah menjadi masalah pada masa dulunya ketika membangun negeri ini. "Para pendahulu kita justru sangat menghormati dan menghargai keberagaman, karena perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi dasar pembentukan negara ini," sebutnya.
Salah seorang peserta dialog, yang merupakan pemuda dari Kupang, Nusa Tenggara Timur mengatakan, Kota Kupang saat ini mayoritas penduduknya adalah kristen, yakni sebesar 87 persen, sedangkan Islam sebesar 8,7 persen, namun tidak ada persoalan dalam pembangunan rumah ibadah di wilayah kami. "Umat Islam di kupang memiliki 27 mesjid," terangnya.
Dalam hal pendirian rumah ibadah, lanjutnya, para pemeluk agama dan pemerintah di sini membangun dialog, dan cara-cara seperti ini lebih efektif mencegah kekerasan berbau SARA. Kegiatan dialog ini dihadiri sejumlah elemen pemuda dan pemudi dengan latar belakang agama yang berbeda. Sejumlah siswa dari etnis tionghoa juga hadir dalam kegiatan dialog ini.
Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa'adduin Djamal menegaskan, pada prinsipnya Pemko Banda Aceh sangat menghargai perbedaan dan keberagaman masyarakat di wilayah ini. "Masyarakat Banda Aceh itu sangat toleran dalam keberagaman, hal ini dikarenakan kultur warga Banda Aceh didasarkan dalam Keislaman yang kental," katanya.
Terkait dengan penertiban beberapa jumlah rumah ibadah, politisi PPP ini menerangkan, bahwa hal itu merupakan bagian dari upaya pemerintah menyelematkan kaum minoritas. "Kita tidak pernah melarang warga beribadah, namun tentunya setiap upaya pendirian rumah ibadah harus memperhatikan ketentuan dan aturan yang ada," jelasnya.
Sementara itu, Bodan Gunawan menjelaskan, perbedaan dan keberagaman masyarakat Indonesia adalah anugarah, dan hal ini tidak pernah menjadi masalah pada masa dulunya ketika membangun negeri ini. "Para pendahulu kita justru sangat menghormati dan menghargai keberagaman, karena perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi dasar pembentukan negara ini," sebutnya.
Salah seorang peserta dialog, yang merupakan pemuda dari Kupang, Nusa Tenggara Timur mengatakan, Kota Kupang saat ini mayoritas penduduknya adalah kristen, yakni sebesar 87 persen, sedangkan Islam sebesar 8,7 persen, namun tidak ada persoalan dalam pembangunan rumah ibadah di wilayah kami. "Umat Islam di kupang memiliki 27 mesjid," terangnya.
Dalam hal pendirian rumah ibadah, lanjutnya, para pemeluk agama dan pemerintah di sini membangun dialog, dan cara-cara seperti ini lebih efektif mencegah kekerasan berbau SARA. Kegiatan dialog ini dihadiri sejumlah elemen pemuda dan pemudi dengan latar belakang agama yang berbeda. Sejumlah siswa dari etnis tionghoa juga hadir dalam kegiatan dialog ini.
Darwin