OBSERVASI:
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Dr
Yusril Ihza Mahendra SH mengatakan, sebagai jalan tengah agar bendera
Aceh (bendera Bintang Bulan), tidak lagi dipersoalkan oleh pemerintah
pusat, maka bendera itu perlu diubah komposisi unsurnya.
“Perubahannya sedikit saja,
misalnya, dengan menambah bintangnya satu lagi atau tambah tiga atau
bisa juga tambah menjadi lima bintang. Kan bagus, karena juga
melambangkan rukun Islam,” ujar Yusril, Jumat (13/9).
Usul lain yang disampaikan
mantan Mensesneg itu adalah, “Bisa juga dengan memiringkan sedikit
posisi bulan sabitnya, agar tidak persis sama dengan bendera yang ada
saat ini. Saya sudah sarankan itu kepada Gubernur Aceh. Pak Zaini
mengatakan, akan mempertimbangkannya.”
Menurut Yusril, wacana mengubah
komposisi unsur di dalam bendera Aceh yang masih kontroversial itu, baik
dengan menambah jumlah bintang atau memodifikasi letak bulannya, juga
sudah dia bicarakan dengan Mendagri Gamawan Fauzi, bahkan dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Pada prinsipnya, pemerintah
pusat akan bisa menerima jika dilakukan modifikasi terhadap elemen di
dalam bendera tersebut. Dan kalau sudah diubah, berarti sudah tidak
persis lagi dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka, sehingga tidak lagi
bertentangan dengan undang-undang,” ujarnya.
Seperti diketahui, meski sudah
disahkan DPR Aceh melalui Qanun Nomor 3 Tahun 2013, tapi bendera Aceh
seperti yang dimaksudkan dalam qanun tersebut belum dapat
diimplementasikan sepenuhnya. Pasalnya, pemerintah pusat menolak karena
bendera Aceh yang disahkan dalam qanun itu mirip dengan bendera
separatis GAM.
Pembahasan demi pembahasan telah
dilakukan kedua belah pihak, namun solusi kompromis belum tercapai.
Hingga akhirnya baik Jakarta yang diwakili Mendagri Gamawan Fauzi dan
Pemerintahan Aceh sepakat melakukan jeda sementara waktu (cooling down),
hingga ada pembahasan lanjutan terhadap bendera dan lambang Aceh itu.
Menurut Yusril, dirinya sudah
mengetahui reaksi penolakan Jakarta atas bentuk bendera Aceh yang sudah
disahkan di dalam qanun itu. Sebagai mantan menteri Hukum dan HAM yang
juga ikut terlibat penuh dalam pembahasan RUU NAD dan RUU-PA, Yusril
mengakui dari pembicaraannya dengan berbagai tokoh di tingkat pusat,
diperlukan satu sikap kompromis dari kedua belah pihak untuk
menyelesaikan persoalan Aceh.
“Saran saya, pemerintah pusat
perlu mundur selangkah, Pemerintah Aceh pun mundur selangkah,” ujar
tokoh Bangka Belitung ini yang saat datang ke Serambi mengenakan baju
teluk belanga, khas Melayu.
Menurut Yusril, sebetulnya
persoalan bendera Aceh sudah dicapai satu solusi bersama dalam pertemuan
informal di Sultan Hotel Jakarta pada medio Desember lalu. Pertemuan
itu juga dihadiri Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah, mantan Wapres Jusuf
Kalla, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, Wakil Ketua DPR RI Priyo
Budi Santoso, dan mantan menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra,
dan anggota DPR RI dari Aceh Nasir Djamil.
Seusai pertemuan, kata Yusril,
Zaini Abdullah tampak semringah ketika menunjukkan model bendera
berlatar belakang warna merah dengan simbol bintang dan bulan sabit,
serta kaligrafi Arab membentuk simbol pedang di bagian bawahnya (alam
peudeung).
Zaini juga sempat mengacungkan
jempol seperti tanda setuju dengan bendera yang diusulkan para tokoh
yang diundangnya dalam pertemuan itu. Bendera itu mirip dengan bendera
kesultanan yang pernah jaya di Aceh, Kerajaan Samudra Pasai.
Namun, dalam pembahasan selanjutnya, justru DPRA mengesahkan bendera Aceh yang diadopsi dari bendera GAM.
“Waktu itu sudah ada solusi
untuk masalah bendera ini. Bendera yang diusulkan itu haruslah
mencerminkan kekhususan dan keistimewaan Aceh, di samping memuat
nilai-nilai semangat perjuangan dan kejayaan kerajaan Aceh dahulu. Tapi
dalam qanun kemudian tidak seperti itu,” ucapnya.
Menurut Yusril, di tengah
kebuntuan para pihak dalam membahas persoalan bendera Aceh, diperlukan
satu sikap kompromis. Pihak Jakarta diharapkan dapat memahami keinginan
rakyat Aceh, namun sebaliknya Pemerintah Aceh juga dapat memahami
keinginan Jakarta.
Sederhananya, kata Yusril,
bentuk bendera Aceh yang saat ini sudah disahkan dalam qanun perlu
diubah sedikit saja. Melalui cara itu, kata dia, win-win solutian akan
dicapai. Pemerintah Jakarta juga tidak lagi punya alasan kuat untuk
menolaknya.
“Satu saja ditambah bintangnya
atau dihilangkan. Saya akan bilang ke pemerintah pusat bahwa bendera ini
sudah berbeda dengan yang ada saat ini. Secara hukum saya bisa
membelanya. Pemerintah pusat tidak bisa ngotot lagi. Kalau dibawa ke
pengadilan pun pemerintah pusat akan kalah,” ujarnya sambil tersenyum.
Selain mengubah bentuk, dari
sisi pemaknaan simbol yang tertera dalam bendera itu juga bisa diubah.
Sebab, setiap orang bisa memiliki beragam pemahaman tentang satu simbol
dan warna. Hal ini juga berlaku untuk bendera yang diusulkan Pemerintah
Aceh via qanun.
“Misalkan kalau warna merah pada
bendera Singapura itu bermakna darah. Jadi pemaknaannya, merah itu
melambangkan darah warga Singapura semua merah, tidak ada perbedaan dari
mana mereka berasal, baik itu Cina, Melayu, ataupun Keling,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam
mengajukan sebuah usulan lambang atau bendera, pemerintah provinsi
tidak boleh menabrak nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Hak
Cipta atau Undang-Undang tentang Hak atas Kekayaan Intelektual.
Sumber: acehcyber