Aceh, NEWS OBSERAVSI - Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh terkesan “setengah hati” diberikan oleh Pemerintah Pusat. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Perjuangan dan keadilan Rakyat Aceh (Fopkra), Fazlun Hasan, mengutarakan pendapatnya ihwal hal tersebut kepada The Globe Journal di Banda Aceh.
Menurut Anda apa masalah yang paling krusial saat ini di Aceh ?
Persoalan di Aceh akan semakin kompleks apabila Undang-Undang Pemerintah Aceh dan turunannya tak terselesaikan oleh pemerintah pusat.
Artinya apa yang telah direncanakan susah untuk diwujudkan. Karena apabila UU PA dan Peraturan Pemerintah dari UU PA tidak lahir untuk Aceh, maka apa yang sudah dirumuskan dalam MoU Helsinki tidak akan pernah terjadi.
Saat ini belum terpenuhi dengan maksimal. Sekarang seolah-olah Pemerintah Aceh bekerja setengah-setengah.
Pemerintah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf mungkin lemah disegi pencitraan saat menuai berbagai serangan dari lawan politik. Tapi sejauh ini, saya lihat pemerintahan sekarang berjalan ke arah yang lebih baik.
Apa yang menjadi faktor tidak terselesaikannya aturan turunan UUPA secara menyeluruh?
Inilah momentum memperbaikinya karena pemerintahan kita lima tahun lalu gagal memperjuangkan itu di level nasional.
Saya tidak hanya menyalahkan Pemerintah Aceh tapi juga DPR Aceh saat itu memang lalai. Kedua pihak tersebut alpa dalam menyelesaikan UU PA. Saya sudah ingatkan UU PA jangan sampai terdegradasi dengan Peraturan dan UU nasional.
Karena kita berkaca pada sejarah pada saat perundingan damai DI TII. Saya curiga itu terjadi. Dan benar kecurigaan saya. Judicial Review pasal 25 pada tahun 2011 lalu tentang calon independen dihapus. Hari ini semua hak-hak Aceh ditahan.
Lantas upaya apa yang mesti dilakukan untuk mendorong terimplementasikannya UU PA secara menyeluruh?
UU PA adalah alat untuk mengawal perdamaian yang telah didapatkan dari MoU Helsinki. Dalam hal ini saya melihat elemen sipil di Aceh kurang bersatu. Bagi saya membangun Aceh itu harus bisa mempersatukan masyarakat Aceh.
Dan juga beberapa periode anggota DPR RI dan DPD asal Aceh, saya melihat tidak ada kekuatan di sana. Wakil-wakil yang sudah kita pilih itu hanya beberapa orang saja yang berfikir serius tentang Aceh.
Saya nantinya bersama dengan kawan DPD RI dan DPR RI akan berjuang agar self government yang ada dalam UU PA benar-benar terwujud.
Menurut Anda apa dampak dari tidak ‘jalannya’ turunan-turunan UUPA secara menyeluruh bagi Aceh?
Aceh seharusnya bisa menerima dana hibah langsung dengan status Pemerintah Aceh. Aceh bisa melakukan perdagangan langsung dengan luar negeri. Tapi hari ini turunan-turunan UU PA tidak sepenuhnya berjalan, sehingga hal itu pun terhambat.
Jalannya UUPA dan turunannya secara menyeluruh akan berdampak lebih besar bagi keamanan dan kenyamanan. Kemudian sosial dan ekonomi.
Menurut Anda hal apa yang menjadi prioritas untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik?
Poin yang paling penting untuk membangun Aceh adalah dengan aqidah. Di dunia ini daerah yang disebut Serambi Mekah hanya Aceh. Dan bumi Aceh ini dibangun oleh para aulia dengan kekuatan agama.
Maka, Fopkra, ditinggat DPAC yang memiliki anggota lebih banyak, itu wajib melaksakan pengajian bersama minimal seminggu sekali.
Kedua, pendidikan karena Aceh harus memiliki Sumber Daya Manusia yang handal. Aceh begitu banyak ketinggalan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kerusakan moral akibat konflik yang panjang. (Tgj)