Advertistment

 

Jakarta, NEWS OBSERVASI - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menyesalkan lambatnya tindakan negara dalam menyelesaian peristiwa pelanggaran HAM pada peristiwa Simpang KKA, yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara, Provinsi Aceh. Kondisi ini berdampak pada absennya pemenuhan hak korban dan keluarga untuk mengakses keadilan, kebenaran dan pemulihan.

15 tahun peristiwa Simpang KKA, negara belum mampu (unable) untuk bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa ini; pembunuhan sewenang – wenang [extra judicil killing], penyiksaan  dan perlakukan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (torture & and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment), dan penghilangan paksa (enforced disappearences) dalam peristiwa ini 39 warga sipil tewas (termasuk seorang anak berusia 7 tahun), 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang.

Peristiwa bermula dari isu hilangnya anggota TNI Detasemen Rudal 001/Liliwangsa pada 30 April 1999,  pasukan militer melakukan penyisiran ke rumah warga dengan kekerasan [dipukul, ditendang, ancaman, intimidasi dan melakukan penangkapan terhadap 3 warga sipil]. Atas hal tersebut warga melakukan protes dengan aksi demonstrasi ke Kantor Koramil setempat. Protes tersebut direspon militer dengan tindakan represif yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana disebutkan diatas.

15 tahun paska peristiwa Komnas HAM baru pada 8 November 2013 melakukan penyelidikan pro justisia atas kasus ini dengan membentuk Tim ad hoc, Tim Ad Hoc Penyelidik Pro-Justisia atas 5 kasus pelanggaran HAM di Aceh, salah satunya adalah peristiwa Simpang KKA. Sebelumnya Laporan Komisi Independen Pengusutan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh [KIPTKA 1999-2000] yang dibentuk pada masa pemerintahan mantan presiden B.J. Habibie dan Abdurahman Wahid menyebutkan terdapat gambaran yang komprehensif bahwa terdapat keterlibatan aktor negara dalam konflik di Aceh. Laporan tersebut merekomendasikan penegakan hukum atas kasus ini, dan reformasi institusi negara yang terlibat [Militer].

Kedua proses tersebut tersebut harusnya dapat sejalan dengan menyegerakan implementasi Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [KKR] Aceh yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), 27 Desember 2013. Implementasi Qanun KKR Aceh, harus menjadi prioritas Pemerintah Daerah Aceh. Dan dalam hal ini pemerintah di level nasional [Presiden; Kemnterian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM] berkewajiban mendukung implementasi Qanun KKR Aceh, karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah mandat Konstitusi dan TAP MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Untuk itu Calon Presiden mendatang harus bersih dari jejak rekam pelanggaran HAM berat, dan memiliki misi penyelesaian kasus - kasus kejahatan negara di masa lalu (pelanggaran HAM berat). Bukan sebaliknya, negara justru memfasilitasi mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat menjadi Calon Presiden.

Berdasarkan pada hal – hal tersebut,Kontras mendesak;

1.       Ketua DPR Aceh segera mengimplementasikan Qanun KKR, dengan menyegerakan pembentukan Panitia Seleksi Komisioner KKR Aceh.
2.       Tim Penyelidik Ad hoc untuk 5 Kasus di Aceh bekerja dengan profesional dan akuntabel, khususnya akuntabel terhadap korban dan tindaklanjut hasil penyelidikan.
3.       Eksekutif dan legislatif di level nasional [Presiden dan DPR RI] memberikan dukungan yang penuh  terhadap implementasi Qanun KKR Aceh
4.       Masyarakat untuk tidak memilih Capres yang memiliki misi penyelesaian kasus kejahatan Negara dan tidak memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat. (Rilis/Ody)


 
Top