Aceh Utara,NEWSOBSERVASI – Aktivis mahasiswa Universitas Malikulsaleh (Unimal) sangat menyayangkan pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, soal Pemerintah Pusat setuju melibatkan Pemerintah Aceh untuk mengelola potensi minyak dan gas dalam wilayah 200 mil dari garis pantai (Zona Ekonomi Eksklusif), jika Aceh bersedia mengubah benderanya.
Menurut pemerintah pusat, bendera yang dimaksud adalah Bendera Aceh yang disetujui DPR Aceh pada Maret 2013. “Artinya turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dijadikan sebagai tumbal syarat mutlak pembahasan lanjutan,” sebut Juliadi, Mahasiswa FISIP Unimal, Jumat (21/11/2014).
“Perlu kami tegaskan, kami sebagai putra Aceh sampai kapanpun akan menuntut Pusat untuk mengimplementasikan seluruh turunan UUPA terhadap Aceh,” katanya.
Rakyat Aceh saat ini, sebut Juliadi, sedang menunggu proses hasil perdamaian Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dari Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di antaranya PP tentang Pengelolaan Bersama Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi di Aceh, PP tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, dan Perpres tentang Pelimpahan Kewenangan Bidang Pertanahan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.
“Ada pula sejumlah poin penting di dalam MoU yang belum terwujud, antara lain pembentukan Pengadilan HAM (Pasal 2.2), pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim (Pasal 3.2.6), dan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).”
Menyangkut Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang, kata Juliadi, sudah sah dan legal. “DPRA dan Pemerintah Aceh sudah mengesahkan Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh menjadi produk hukum pada 22 Maret 2013 yang lalu. “Bahkan Pemerintah Aceh sudah memasukkan dalam lembaran daerah untuk dijalankan.”
Namun, sambungnya, lagi-lagi Pemerintah Pusat mempersoalkan qanun tersebut karena Bendera Aceh mirip dengan bendera separatis GAMM “Padahal dulu kita sudah sepakat paska MoU Helsinki 15 Agustus 2005 tidak ada lagi separatis di Aceh, namun kenapa sekarang pusat masih saja menggangab Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 kental dengan separatis. Kami berharap kepada pemerintah Aceh untuk tidak mengubah Bendera Aceh satu helai benangpun,” imbuh Juliadi.
Pihaknya juga berharap kepada Pemerintah Pusat jangan terlalu curiga terhadap Aceh. “Paska MoU Helsinki 15 Agustus 2005 tidak ada lagi keinginan Merdeka di Aceh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati bagi kami Rakyat Aceh semenjak terciptanya perdamaian,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah baru saat ini jangan kembali mengusik Perdamaian yang sudah terawat dengan baik di AcehM “Jangan buat rakyat Aceh kembali kecewa terhadap pusat. Pusat juga harus ikhlas terkait isi perjanjian perdamaian di Helsinki.”
“Sudah cukup 30 tahun rakyat Aceh hidup dalam suasan konflik. Luka lama telah menempatkan rakyat Aceh pada posisi yang tragis dan marginal dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan telah pudarnya nilai-nilai sosial dan adat yang selama ini melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pemerintah Aceh dan Pusat wajib menjaga perdamaian dan mengamankan butir-butir yang tertuang dalam MoU Helsinki,” pungkasnya. (Atjehlink)