Penulis NEWS OBSERVASI (Usmandani) bersama Muhammad Syarif (tengah), foto Minggu 24 mei 2015 |
I am Happy Stay Here, I Hope My
Family Live in This Country. Kata-kata ini mengingatkan saya
pada seorang remaja Etnis Rohingya yang sekarang berada di tempat pengungsian
di daerah Lapang kecamatan Tanah Pasir Aceh Utara dengan total pengungsi berjumlah
600 orang. Dia begitu semangat menjalani hidup meski dalam keterbatasan. Namun,
walau dalam keterbatasannya dia menggunakan pikirannya dalam segala hal. Hari
itu saya berusaha menemui dia, namanya Muhammad Syarif yang merupakan mantan siswa
teladan Academic student of Banglades lima tahun yang lalu, usianya sekarang
baru memasuki 17 tahun dan bisa berbicara bahasa Internasional. Dalam ceritanya
ada banyak hal yang menjadi ispirasi untuk tetap hidup dan mempertahankan apa
yang dia anut.
Dia
menceritakan mula kisahnya ketika di negerinya sendiri Myanmar, tepatnya di Burma yang merupakan
minoritas Etnis Rohingya. “Islam begitu akur sesamanya. Tapi, tidak dengan
agama lain”(ucapnya). Hampir setiap hari kegaduhan terjadi antar umat beragama
(Hindu Vs Islam), bukan hanya sekadar perang mulut yang terjadi. Tetapi, perang
antar hidup dan mati, semakin hari semakin memanas dan akhirnya kebanyakan Etnis
Rohingya memilih meninggalkan daerah mereka dan mencari kehidupan di tempat
lain, perjalanan mereka mencari kehidupan tidak semulus yang diharapkan, ada
banyak ancaman yang datang, diantaranya adalah kelaparan, diterjang suara
tembakan oleh militer pengaman laut, melawan badai di lautan ganas, dinginnya
hembusan angin dikala malam tiba, hingga panasnya sengatan mentari ketika
dimulainya pagi. Lima bulan menetap dalam kapal pesiar yang hanya muat 150
manusia dan terpaksa menjadi manusia perahu demi kelangsungan hidup. Semua
dijalani dengan begitu terpaksa. Namun, tawa dan canda tidak terlepas dari
mereka. “saya masih memiliki Ibu dan Ayah. Tapi, mereka tidak membiarkan saya
terlindung, mereka tidak ikut dengan saya, karena kapal yang saya tumpangi
tidak muat, mereka berjanji akan menyusul saya dilain waktu dan saya yakin
mereka masih sehat di sana dan hidup di sana”(ujarnya). Tidak ada lagi senyuman
ketika mengusik tentang Ibu dan Ayahnya, entah apa yang terjadi, saya tidak
tega jika harus bertanya lebih dalam lagi.
Dia
kembali menceritakan bahwa dalam kurun waktu lima bulan sudah 10 Etnis rohingya
yang meninggal ketika masih terkatung di lautan, tujuh diantaranya adalah
wanita dan lima pria, daftar tersebut membuat mereka berharap jangan sampai
bertambah lagi karena kehilangan sanak sodara mereka adalah pukulan terberat
dalam menjalani hidup di dunia yang luas ini. Mereka juga berharap agar
pemerintah Indonesia khususnya bangsa Aceh dapat menerima mereka menetap lebih
lama, bukan hanya satu atau dua tahun. Tapi lama dalam arti kata “ stay here, Life
here”. (Uus)
Oleh : USMANDANI
#Pengamat Sosial masyarakat
Pedalaman.
Facebook : Usmandani
Alves
Twitter : @usmandani1492