Sungguh bijaksana dan Wibawa Gamawan Fauzi apabila rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk mengibarkan bendera Bintang Buleun. Terlepas dari pro-kontra terhadap rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, alangkah baiknya bila pengibaran bendera Bintang buleun tidak dikait-kaitkan dengan pencaplokan bendera GAM sebagai Bendera Daerah oleh Pemerintah Aceh.
Seperti
kita ketahui bersama, perdamaian di Aceh terjadi setelah Pemerintah RI
dan GAM sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan menandatangani
kesepakatan damai yang tertuang dalam MoU Helsinki dimana pada
pembukaannya tersebut bahwa “Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik
Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi
semua”.
4 Desember adalah hari Milad GAM, untuk
mengenang perjuangan Hasan Tiro bersama rakyat Aceh dan mendoakan arwah
mereka yang telah berpulang selama masa konflik yang berkepanjangan.
Adalah
suatu ketidakadilan saat kami semua di Aceh turut memperingati Hari
G30S PKI, Hari Kesaktian Pancasila, Supersemar, Sumpah Pemuda, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan Aceh sama sekali, sementara hari yang
bersejarah bagi Aceh sendiri tidak dapat kami peringati secara layak?
MoU
Helsinki dan UUPA ada karena GAM, sedangkan bendera GAM itu merupakan
identitas pengenal organisasi GAM, baik di dalam negeri maupun di dunia
internasional.
Sudah selayaknya bendera perjuangan itu berkibar di Tanah Rencong, walau tidak mengikat.
Damai
bukan berarti harus kehilangan marwah. Berhenti berperang bukan berarti
kalah. Marilah kita sama-sama menjaga perdamaian yang telah tercipta,
dengan saling menghargai kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak yang bertikai untuk mewujudkan damai Aceh yang bermartabat.
Penulis: Ody Yunanda (Kutamakmur, Aceh Utara)