OBSERVASI | ACEH BESAR:
Membutuhkan waktu 20 menit dari pusat kota Banda Aceh untuk menuju
ke rumah Cut Nyak Dhien di Gampong Lampisang Peukan Bada.“Rumah ini
menghidupkan kembali kenangan pada wanita pejuang Cut Nyak
Dhien. Lebih dari sekedar nama, beliau telah mewariskan epik yang
membanggakan, sebuah pragmen sejarah yang patut dikenang ulang dan
dijadikan perlambang sebuah perjuangan panjang”. Inilah kata-kata dalam
sebuah piagam peresmian yang ada diruang tengah rumah tertanggal pada 4
februari tahun 1987 dan di tandatangani oleh Fuad Hasan.

Pemandu dan juru
kunci rumah, Ibu Asiah mengatakan rumah berukuran 25 x 15 meter, rumah yang
saat ini katanya hanyalah replika. “Aslinya sudah dibumi hanguskan
Belanda setelah tahu siasat Teuku Umar,” kata Asiah kepada News Observasi.
Replika
pun dibangun kembali, kata Asiah pada tahun 1981 dan selesai setahun
kemudian. Dengan dominasi cat hitam, rumah itu tampak sama dengan rumah
tradisional Aceh kebanyakan, ditambah sanggahan 65 pilar serta atap
rumbia dengan kontruksi bangunan kayu.
Tangga utama berjumlah
ganjil terletak disebelah kanan rumah, menghubungkan setiap pengunjung
masuk dengan seuramoe rambat. Sejurus kemudian kita melangkahkan kaki
melewati 2 anak tangga, di sisi kanan seuramoe rambat tampaklah sebuah
ruangan memajang gambaran kisah perjuangan Aceh melawan Belanda dalam
bentuk pencitraan foto dan merupakan hadiah dari pihak belanda setelah
indonesia memperoleh kemerdekaan.
Ada dua kamar diruang tengah,
lengkap dengan tempat tidur khas Aceh yang dulunya ditempati oleh para
dayang Cut Nyak. Disisi kiri seuramoe rambat adalah kamar dari Cut Nyak
Dien. Terkesan bangsawan pada masanya, kamar juga lengkap dengan asoe
kama khas Aceh. Kini dapur pun dihiasi dengan pajangan berbagai senjata
tradisional khas Aceh dan set meja makan, sumur yang ada diluar dapur
terhubung dengan titian sepanjang dua meter.
Menurut Asiah, Sumur
itu digunakan Cut Nyak Dien dalam kebutuhan air harian beliau. “Rumah
ini di bakar oleh Belanda yang tersisa hanyalah sumur ini,” ungkapnya
dan menambahkan sumur itu ada semenjak rumah Cut Nyak Dien dibangun
Belanda dulu, tapi kata dia bukanlah Belanda yang membangun. “Dibangun
dengan bentuk yang tinggi seperti ini bertujuan agar pihak penjajah
tidak melempari racun kedalam sumur, kedalamanya hingga 10 meter,
dulunya juga sumur ini ada penutupnya”. jelas Asiah lagi.
Cagar
budaya Aceh satu ini dibuka setiap hari mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5
petang. Saban hari pengunjung datang dari berbagai daerah dan negara.
“Ada yang dari Jawa, Malaysia, dan juga pernah dari Belanda, semua
mereka yang datang terkagum melihat rumah ini,” tutur Ibu Asiah.
Reporter: darwin