Advertistment

 

Ledakan bom di Vihara Ekayana di kawasan Duri Kepa Jakarta Barat yang terjadi beberapa waktu lalu, semakin menegaskan bahwa jaringan terorisme di Indonesia terus bergerak, meski polisi selalu melakukan penangkapan dan adanya perintah tembak di tempat.
 
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, pada Selasa (6/8) mengatakan, pelaku peledakan bom Vihara Ekayana masih berasal dari kelompok jaringan teroris lama.
 
Ia menyebutkan, teknik pembuatan bom di vihara tersebut mirip dengan yang pernah ditemukan polisi di sejumlah tempat, termasuk di Kebumen dan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Ansyaad meyakini bahwa jaringan Abu Roban berada di balik serangkaian serangan bom tersebut.
 
Mabes Polri dan BNPT terus mengejar para pelaku dari jaringan lama, namun tetap menghadapi kendala berupa pembentukan sel-sel jaringan terorisme baru yang tidak terdeteksi. Abu Roban sendiri tewas dalam penangkapan di Kendal, Batang, Jawa Tengah, pada Mei lalu.
 
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Profesor Adrianus Meliala, kepada acehonline.info, Rabu (7/8) sore, menduga bahwa dalam empat bulan terakhir terjadi perekrutan baru untuk menyulitkan upaya pencarian kepolisian.
 
"Sekitar empat bulan sejak kasus Abu Roban ada dua hal besar yang terjadi. Pertama, dalam peredaran kelompok itu tidak semuanya tertangkap. Ada kemungkinan selama empat bulan terakhir mereka membuat perekrutan baru. Pemuda-pemuda direkrut menjadi pelaku baru dan disiapkan. Mereka bukan untuk aksi yang profesional sehingga tidak ada namanya dalam database polisi," ungkap Adrianus, yang sempat menjadi penasihat mantan Kapolri Soetanto.
 
Hal lain yang juga menyulitkan polisi, lanjut Adrianus, adalah tidak adanya pernyataan dari para pelaku baru dalam kelompok ini.
 
"Ada kemungkinan pelaku sudah tahu percakapan mereka dipantau oleh polisi, maka tidak ada "statement" sebelum kejadian. Dalam hal ini memang tidak semuanya bisa dipecahkan oleh polisi," tambah Adrianus.
 
Sejauh ini, ia menilai kerjasama BNPT dan Mabes Polri sudah cukup baik, meskipun diakui untuk surveillance atau pengawasan masih belum memadai.
 
"Asal usul (pelaku) juga mengerikan karena tidak diketahui persis tetapi bisa membuat bom dan terkait dengan jaringan yang bisa dibentuk oleh siapa saja. Pelaku tidak lagi satu, tetapi dari jaringan yang terpecah-pecah dan punya agenda sendiri-sendiri," jelas Adrianus.
 
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, berpendapat ancaman kekerasan atau ekstrimisme terhadap kelompok minoritas di Indonesia semakin parah. Ia merujuk pada alasan peledakan yang dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap penderitaan kaum muslim Rohingya, di Myanmar.
 
"Tindakan pengeboman di Vihara Ekayana adalah ancaman terhadap demokrasi dan keberagaman di Indonesia. Polisi harus membongkar kasus ini dan melakukan penegakkan hukum secara profesional," kata Haris.(ACEHONLINE)
 
Top